Sabtu, 29 September 2012


                                                                                                        
                                                                                            LAPORAN KASUS     
                                                                                                                                                                                         

 SINDROM GRADENIGO PADA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN MULTIPEL KOMPLIKASI







PENDAHULUAN
Otitis media adalah  radang atau infeksi pada daerah mukosa telinga tengah, peradangan ini dapat terjadi sebagian ataupun seluruh mukosa telinga, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.  Proses inflamasi umumnya berawal dari infeksi yang terjadi dari saluran pernapasan atas yang menyebar sampai ke telinga tengah.  Secara umum, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif . Dan setiap pembagian tersebut memiliki bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media supuratif akut (otitis media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis (OMSK). Selain itu, terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media sifilitik. (1,2,3,4)
Bila keadaan akut dari otitis media tidak ditangani dengan baik atau tidak diobati dengan tuntas, maka akan berkembang menjadi kronik. Pada keadaan ini tidak hanya dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran, melainkan juga dapat mengakibatkan komplikasi sehingga terjadi juga gangguan di tempat lain. (1,2,3,4)
Komplikasi dari otitis media secara umum dibagi menjadi dua, yaitu intratemporal dan intrakranial. Komplikasi intratemporal terdiri dari parese nervus fasialis, labirintitis, abses retroaurikuler, fistel retroaurikuler, abses citelli, abses bezold. Sedangkan komplikasi intrakranial terdiri dari abses subdural, abses epidural, tromboflebitis sinus lateral, meningitis, abses otak, dan hidrosefalus otitis. Penanganan komplikasi otitis media haruslah mencakup dua hal, yaitu penanganan yang efektif terhadap komplikasinya dan penanganan terhadap penyebab primernya. Penanganan dengan menggunakan antibiotika dosis tinggi haruslah diberikan secepatnya. Selain itu penanganan secara operatif juga haruslah dipertimbangkan untuk mengeliminasi penyebab primernya.(2,3)     








Anatomi Telinga(1,5)
Gambar 1

Anatomi Telinga

Membran timpani berbentuk bulat dan cekung bila dilihat dari arah meatus akustikus eksternus dan bagian oblik terhadap sumbu meatus akustikus eksternus. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Sharpnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan lamina propria yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada foramen ovale yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. Bagian lateral tuba eustachius adalah yang bertulang sementara dua pertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi musculus levator palatinum dan tensor palatinum. Tuba ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani.


Anatomi Os Temporal(5)
Gambar 2

Os Temporal , tampak lateral
Gambar 3
Os Temporal, tampak bawah

Os temporal merupakan salah satu penyusun neurocranium (tulang-tulang yang membungkus otak) dimana neurocranium terdiri dari beberapa tulang pipih yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Os temporal yang membungkus telinga berasal dari empat bagian terpisah yaitu pars squamosa, pars mastoideum, pars timpanica dan pars petrosa . Bagian liang telinga yang bertulang berasal dari cincin timpani. Nervus fascialis pada bayi tidak terlindung oleh prosessus mastoideus mengingat prosessus mastoideus belum terbentuk pada saat lahir dan ini berarti nervus fascialis bayi terletak sangat superfisial. Turunan resessus tubotimpanikum yang terisi udara meluas dari telinga tengah melalui aditus sampai di antrum, yaitu daerah yang terisi udara dalam os mastoid. Namun demikian seberapa jauh perluasan pneumatisasi pada bagian prosessus mastoideus yang tersisa sangatlah bervariasi. Sebagian tulang amat buruk pneumatisasinya atau menjadi sklerotik, lainnya dengan pneumatisasi sedang atau diploik..

Insidens Otitis Media
Di Amerika Serikat dilaporkan kasus Otitis media sering terjadi pada anak-anak antara periode neonatal sampai sekitar umur 7 tahun, dengan hampir 70 % dari anak-anak tersebut mengalami 1 atau lebih episode sampai ulang tahun mereka yang ketiga. Walaupun pada umumnya Otitis Media lebih sering didapatkan pada pasien anak, namun Otitis media dapat juga ditemukan pada pasien dewasa. Dan tidak ada perbedaan jenis kelamin yang rentan terhadap komplikasi diremukan pada pasien dengan Otitis Media. (2,3)
Keseluruhan insidens dari semua komplikasi otitis media telah menurun sejak di dilakukan pengobatan efektif dengan antibiotik. Pada tahun 1980an, insidens menurun hampir 0,02%. Pada tahun 1995, kangsaranak et al. melakukan penelitian terhadap 24,321 pasien dengan otitis media. Dari hasil penelitiannya menunjukkan komplikasi intrakranial rata-rata 0,36%. (10,11). Pada saat era preantibiotik, angka mortalitas dari komplikasi intrakranial otitis media dilaporkan sekitar diatas 76,4%. Penelitian terbaru melaporkan dari 24,321 pasien yang menderita komplikasi intrakranial akibat otitis media menunjukkan angka mortalitas sekitar 18,4 %.

Klasifikasi Otitis Media 1
1.        Otitis Media Akut
Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik seperti
Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus. Selain itu kadang-kadang ditemukan juga Hemofilus influenza, Escherichia colli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aerugenosa
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat  infeksi dapat dibagi atas 5 stadium yaitu:
a.          Stadium Oklusi Tuba Eustachius
b.         Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)
c.          Stadium Supurasi
d.         Stadium Perforasi
e.          Stadium Resolusi

2.         Otitis Media Supuratif Kronis1
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi Otitis Media supuratif kronik apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan .Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk.
 OMSK dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu (1) OMSK tipe aman (tipe mukosa= tipe benigna) dan (2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang= tipe maligna). Proses peradangan pada OMSK tipe benigna terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral dan tidak terdapat kolesteatoma. OMSK tipe bahaya letak perforasinya di marginal atau atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe maligna.









 









Gambar 4
Proses Otitis Media

Klasifikasi Komplikasi Otitis Media (1,2)
Komplikasi intrakranial meliputi:
a.       Meningitis
b.      Abses subdural
c.       Abses ekstradural
d.      Trombosis sinus lateralis
e.       Abses otak
f.       Hidrosefalus otitis
Komplikasi intratemporal meliputi :
a.       Mastoiditis
b.      Labirintitis
c.       Paralisis fasialis
d.      Petrositis





Komplikasi Intratemporal Otitis Media
1.      Mastoiditis10
Mastoiditis akut (MA) merupakan perluasan infeksi telinga tengah ke dalam pneumatic system selulae mastoid melalui antrum mastoid. Proses infeksi ini bisa saja murni dapat mengakibatkan Mastoiditis.Terjadinya mastoiditis ini dapat secara akut ataupun kronik.
Tidak ada gejala khusus yang membedakan infeksi mastoid oleh karena perluasan otitis media dengan mastoiditis secara umum. Gejalanya serupa seperti, eritema pada daerah mastoid, protrusi dari pinna, pembengkakan telinga, daerah terinfeksi menjadi lunak, serta rasa nyeri yang dikeluhkan oleh pasien dan ditemukan perforasi membran timpani sedang, total atau atik. Apabila proses ini terjadi terus-menerus maka dapat mengakibatkan terjadinya Mastoiditis Akut disertai Osteolitis dimana terjadi destruksi  tulang trabekula yang memisahkan sel-sel mastoid. Setelah 10-14 hari akan terjadi resolusi dari proses infeksi ini, namun apabila gagal dalam stadium ini maka terjadilah subakut Mastoditis , dimana gejala umunya tidak ditemukan, tetapi gejala seperti otalgia dan nyeri pada belakang telinga, dapat dikeluhkan oleh pasien. Proses apabila tidak diobati dengan cepat maka dapat berkomplikasi secara intratemporal yang lebih luas bahkan dapat mencapai daerah intrakranial.
Pemeriksaan penunjang yang dapat diminta adalah, pemeriksaan kultur mikrobiologi. Pemeriksaan lainnnya adalah CT-scan kepala, MRI-kepala dan foto polos kepala. 

Gambar 5
CT Scan Potongan Aksial, Mastoiditis Akut Kanan








 

2.      Labirintitis10
Labirintitis  yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirintitis generalisata , dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirintitis yang terbatas (labirintitis sirkumskripta) menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja.     Labirintitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfe Terdapat dua bentuk labirintitis yaitu labirintits serosa dan labirintits supuratif.
Gejala dan tanda serangan akut labirintitis adalah vertigo spontan dan nistagmus rotatoar, biasanya ke arah telinga yang sakit. Kadang-kadang disertai mual dan muntah dan tuli sensorineural.Tes fistula akan positif. Pada labirintitis serosa ketulian bersifat temporer, biasanya tidak berat , sedangkan pada labirintitis supuratif terjadi tuli saraf total dan permanen. Bila pada labirintitis serosa ketulian menjadi berat atau total maka mungkin telah terjadi perubahan makan menjadi labirintitis supuratif .
Labirintitis supuratif  difus, ditandai dengan tuli total pada telinga yang sakit di ikuti dengan vertigo berat, mual, muntah, dan nistagmus spontan ke arah telinga yang sehat, serta ditemukan perforasi membran timpani sedang, total atau atik. Labirintitis supuratif difus dapat merupakan kelanjutan dari labirintits serosa yang infeksinya masuk melalui tingkap lonjong atau tingkap bulat.
3.      Paralisis Fasialis (7,9)
Paralisis fasialis dapat terjadi sebagai komplikasi baik dari akut maupun kronik otitis media. Ada dua mekanisme dimana otitis media dapat menyebabkan paralisis fasialis, yaitu akibat produksi toksin bakteri secara lokal atau akibat tekanan langsung terhadap nervus dari kolesteatoma ataupun jaringan granulasi.
Pembagian derajat dari paralisis fasialis dikemukakan oleh House dan Brackmann yang saat ini diterima secara umum.
Gambar 6
Sistem Derajat Kerusakan Nervus Fasialis Versi House-Brackmann

Jika Paralisis nervus fasialis terjadi sebagai komplikasi dari otitis media supuratif kronik, maka tindakan operatif yang segera disertai dengan dekompresi nervus fasialis sangat diindikasikan.

4.      Petrositis (7,8,9)
Salah satu dari komplikasi dari otitis media supuratif ini dapat terjadi baik secara akut ataupun kronik. Petrositis sendiri merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Pada bentuk yang akut, diketahui bahwa perluasan dari mastoiditis ke arah apeks petrosa yang berisi dengan udara. Apeks petrosa dapat pneumatik (berisi udara), diploik (berisi sumsum tulang) ataupun sklerotik (berupa tulang padat). Perluasan secara langsung dari infeksi di bagian telinga tengah melalui jalur udara pneumatik tersebut ke apeks petrosa diduga sebagai etiologi dari petroisitis.
Gejala dari petrositis biasanya tersamar.Pada penelitian terhadap 8 orang pasien dengan petrositis, empat pasien mengeluh nyeri fasial yang dalam, dua pasien dengan paralisis abdusens, dan dua pasien dengan gejala meningitis.
Pasien dengan supurasi dapat bermanifestasi menjadi beberapa simptom dan tidak satupun yang menjadi tanda patognomonis dari petrositis. Pada pasien dengan riwayat otomastoiditis yang berkepanjangan, nyeri fasial yang dalam, dan infeksi persisten, serta ditemukan perforasi membran timpani sedang, total atau attik, diagnosis petrositis ini dapat dipikirkan.Pada pemeriksaan fisis pasien petrositis, biasanya didapatkan riwayat otorea kronik.
Oleh karena hubungan yang dekat dengan cabang oftalmikus dari nervus trigeminus dan nervus abdusens dari apeks petrosa, tampakan klasik dari petrositis berupa otore berkaitan dengan nyeri retroorbital dan kelumpuhan otot rektus lateralis yang biasanya disebut sebagai Sindrom Gradenigo.
Kecurigaan terhadap petrositis dapat diklarifikasi dengan CT-scan sebagai modalitas yang terpilih. CT-scan dengan resolusi yang tinggi dapat menunjukkan detail dari apeks petrosae. Asimetris dari apeks petrosae belum dapat dijadikan sebagai patokan karena hal ini dapat terjadi pada beberapa orang normal (Roland, 1990). Jika CT-scan mengindikasikan petrositis, maka pemeriksaan MRI dapat menambah informasi tentang cairan ataupun jaringan yang mengisi apeks petrosa.

Gambar 7
CT Scan dan MRI Potongan Aksial Pada Petrositis

(Ket : Pasien anak perempuan, 7 tahun, dengan keluhan demam, nyeri dalam pada wajah sebelah kanan, dan diplopia. (1) CT scan potongan aksial menunjukkan peningkatan densitas dari aerasi mastoid dan erosi dari apex petrosae kanan, (2) CT scan kontras  menunjukkan daerah hipodens tanpa disertai peningkatan densitas jaringan lunak, (3&4) MRI T1 dan T2 menunjukkan lesi, (5) CT Scan potongan aksial post mastoidektomi menunjukkan resolusi.11)
 






Penatalaksanaan petrositis mengarah kepada penanganan infeksi. Jika antibiotik topikal maupun sistemik tidak dapat mengontrol infeksi yang terjadi,  pendekatan secara operatif dapat dipertimbangkan.
Sindrom Gradenigo12,13
Sinonim : Gradenigo-Lannois syndrome,  petrous apicitis
Defenisi: Kompliklasi yang jarang dari otitis media dan mastoiditis yang melibatkan apeks petrosus tulang temporal.
Gejala sindrom ini termasuk :
1.         Nyeri retrorbital yang disebabkan nyeri yang berasal dari cabang optalmicus nervus trigeminus
2.         Paralisis ipsilateral dari nervus abdusens
3.         Otitis media
Gejala lain dapat termasuk fotofobia, lakrimasi berlebihan, demam, dan penurunan reflex kornea.
Sindrom ini ditemukan oleh Giuseppe Gradenigo, seorang ahli THT dari Italia, dan Maurice Lannois. Gejala sisa yang dapat terjadi dengan adanya sindrom gradenigo :
1.      Meningitis
2.      Abses intracranial
3.      Penyebaran ke basis crania dan melibatkan nervus kranialis 9, 10, 11 ( sindrom vernet)
4.      Abses prevertebral / paraparingeal
5.      Penyebaran ke plexus simpatikus sekitar carotid sheet
LAPORAN KASUS :
IDENTITAS PASIEN
1.      NAMA                        : Mr. S
2.      UMUR                        : 26 TAHUN
3.      JENIS KELAMIN     : LAKI- LAKI






ANAMNESIS (Rujukan dari RS Daya) tanggal 10/3/2011
KU : Demam menggigil
AT : Dialami sejak  ± 1 minggu  yang lalu SMRS, diplopia S/ (+), penglihatan kabur (+) sejak 1 hari SMRS, nyeri disekitar mata S/ dan cefalgia (+) terutama di daerah frontotemporal S/ , mual (+), muntah (+) kejang (-). Otalgia S/ (+), otore S/ (+), tinitus (-), gangguan pendengaran S/(+), vertigo (-), riwayat otore (+) sejak 15 tahun yang lalu, terdapat benjolan di belakang telinga (+) sejak 2 minggu yang lalu, nyeri. Keluhan di hidung dan tenggorokan tidak ada.
PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : Baik / Gizi cukup / Composmentis
Tanda vital :    T          : 110/70 mmHg                      
N         : 96 x/menit
                        P          : 30 x/menit                            
S          : 38,5oC
PEMERIKSAAN FISIS THT
Otoskopi          : MAE D/ kesan normal, membran timpani intak, pantulan cahaya +
                         MAE S/ hiperemis, sekret mukopurulen, membran timpani perforasi total, mukosa cavum timpani hiperemis.
Rinoskopi ant. : Mukosa kavum nasi kesan normal, konka kesan normal
Faringoskopi    : Tonsil T1/T1 tenang, mukosa orofaring tidak hiperemi







Terdapat parese fasialis perifer minimal dan strabismus
LABORATORIUM ( 10-03-2011 )

WBC               10,2 x 103 /uL                         Ureum             11 mg/dL
RBC                5,02 x 106 /mm                        Kreatinin         0,6 mg/dL
Hb                   14,8 gr/dL                               SGOT              27 U/L
Plt                    204.000 /uL                             SGPT              50 U/L
GDS                130  mg/dL                             Protein total   6,9    Albumin 3,4      
CT                   930’’                                      BT                   330’’
PT                    15,9                                         APTT              25,5
HBsAg            Negatif                                                Anti HCV       Negatif

 








FOTO THORAKS PA (24-11-2010)
Kesan : Aspek bronchitis
             Cardiomegaly dengan elongatio et dilatatio aortae


CT Scan Mastoid Potongan Axial :
Telinga Kiri:
·         Tampak lesi isodens kesan homogen(32,64 HU) pada telinga tengah dan tidak tampak lagi air cell mastoid
·         Tidak tampak destruksi tulang sekitarnya.
·         Meatus acusticus dalam batas normal. Osikula sulit dinilai.
·         Cochlea , canalis semisirkularis, dan meatus acusticus internus.
Telinga Kanan :
·         Meatus acusticus eksternus dalam batas normal
·         Membran timpani dalam batas normal
·         Osikula intak, tidak tampak perselubungan pada telinga tengah
·         Cochlea , canalis semisirkularis, dan meatus acusticus internus
·         Air cell mastoid dalam batas normal, tidak tampak destruksi tulang
Kesan : Otomastoiditis kiri






                       







CT-SCAN KEPALA POTONGAN AXIAL (7-3-2011)
-       Tampak lesi hipodens (18,5 HU) batas tegas dinding tebal pada region occipital S/
-       Tampak lesi isodens kesan homogen (33,62 HU) pada telinga tengah kiri dan tidak tampak lagi air cell mastoid. Tidak tampak destruksi jaringan sekitar.
-       Densitas grey and white matter dalam batas normal
-       Sulci and gyri dalam batas normal
-       Tidak tampak midline shift
-       Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid dalam batas normal
-       Sinus paranasalis, kedua orbita dan ceel mastoid D/  yang terscan dalam batas normal
-       Tulang-tulang yang terscan kesan intak
Kesan : Abses cerebella S/
            Otomastoiditis S/










Foto Polos Mastoid
·         Meatus acusticus kanan baik, kiri terselubung
·         Aircell mastoid kanan baik, kiri sangat berkurang
·         Periantrum kanan baik, kiri sangat sklerotik
·         Tulang – tulang yang tervisualisasi baik
     Kesan : mastoiditis kronik sinistra
Foto Thorax :
Kesan : Tidak tampak kelainan radiologik
DIAGNOSIS
Otitis media supuratif kronik S/ + Abses retroaurikula S/ + Sindrom Gradenigo + Abses cerebellum S/ + parese nervus fasialis S/
PENANGANAN

Jam 14.00
·         IVFD RL : D5% = 1:1 = 20 tetes / menit
·         Injeksi cefotaxime 1 gr/ 12 j/ IV
·         Injeksi Dexametaxone 1 amp/ 8 j/ IV
·         Metronidazole 500 mg/ 8 j/ IV
·         Injeksi ranitidine 1 amp/ 8 j/ IV
·         Drainase abses retroaurikula S/ : tampak pus mukopurulen sebanyak 5 cc
·         Insisi abses retroaurikula s/ dan pasang drain
·         Toilet telinga dan tampon  burowi S/
·         Kultur dan sensitivitas antibiotik
·         Konsul bagian mata dan Neuro
Konsul mata
Pemeriksaan oftalmologi :
VOD 3/ 60 RB TOD 17,3 mm Hg
VOS 3/ 60 RB TOS 17,3 mm Hg
Kesan : Diplopoia Binokuler e.c Parese N. VI
Anjuran : Rawat Bersama
Konsul Neuro
Status Neurologis:
GCS 15 (E4M3 V5)
Fungsi Kortikal Luhur : dBN
Rangsang meanings: Kaku kuduk tidak ada.
Nervus cranialis pupil bundar anisokor diameter 2,5 mm/ 5 mm
RCL +/+ RCTL +/+
FODS kesan normal
Parese n.VI S/ (+)
Refleks fisilogis S/ menurun, tonus otot S/ menurun
Sensoris : hemiplegia S/
SSO: kesan Normal
Romberg test (+) jatuh ke kiri
D/ : Vertigo sentral + cefalgia kronik e.c abses cerebelli
Anjuran : Rawat bersama
                 Ampicillin 2 gr/ 6 j/ IV
                 Chloramphenicol 1 gr/ 6 j/ IV       
                 Piracetam 3 gr/ 8 j /IV
                Dexamethason 1 amp/ 8 j / IV
                Ranitide 1 amp/ 8 j/ IV
               Metronidazole 500 mg/ 8 j/IV
               Dimenhidrinat 2 x1
Tanggal 11/3/2011
Jam 09.00 KU Baik
                  Vertigo (-), cefalgia (+), demam (-)                                 Drainase abses retroaurikuer
                   Otore S/(+) diplopia (+) gangguan penglihatan (+)        Terapi injeksi lanjut
                                                                                                     Tunggu hasil kultur dan sensivitas
PTA: D/ CHL ringan (35 dB)
         S/  CHL sedang berat (65 dB)
Test fistula : Negatif
Test vestibuler : tidak ada gangguan
Jam 20.00
KU: Lemah
Kejang (+), cefalgia makin memberat, mual (+),muntah (+) penglihatan mata S/ makin kabur
TD: 110/70
Nadi 76x / menit
Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu : 38C
Konsul Cito Bagian Bedah Saraf
Jawaban  : Rawat Bersama
                 Rapid Test à (-)
                 Ceftriaxone 2 gr/ 8 j/ IV
                  Metronidazole 500 mg/ 8 j/ IV
                  Awasi ketat tanda vital
Hasil kultur dan sensitivitas antibiotik :
Ceftriaxone 34
Cefepime (maxipime) 32
Levofloxacin 30
Aztrenam 30
Rencana :
Operasi Mastoidektomi Radikal S/ + Drainase Abses Cerebellum kerjasama Bedah Saraf

LAPORAN OPERASI CITO
HARI/TANGGAL     : Kamis / 17-03-2011 Jam 01.00 malam
1.        Pasien baring terlentang dalam GA, ETT terpasang
2.        Desinfeksi lapangan operasi, pasang duek steril
3.        Buat landmark 1 mm dari sulcus retroaurikular
4.        Infiltrasi daerah landmark, insisi landmark , perdalam secara tajam dan tumpul sampai tampak perisoteum.
5.        Terdapat fistel pada periosteum, perlebar fistel dengan hajet sehingga antrum mastoid terexpose.
6.        Terdapat cholesteatoma di antrum mastoid, bersihkan
7.        Bedah saraf mencari daerah menings, sampai di temukan selaput menings  dan lakukan aspirasi dengan spoit 10 cc dan abbocath 18.
8.        Pus keluar sebanyak + 17 cc, dibersihkan
9.        Tampak sebagian dinding posterior MAE sudah destruksi, runtuhkan
10.    Buat meatoplasty
11.    Tutup duramater dengan perekat
12.    Pasang tampon antibiotik
13.    Jahit luka insisi
14.    Op selesai , perdarahan durante OP ­+ 150 cc












































FOLLOW UP :
Hari I :
KU Baik                                                                                           R/ Inj Ceftriaxone 1 gr/12j /IV
      Gangguan Penglihatan (-)                                                         Inj Dexamethason 1 amp/ 8 j/IV
      Vertigo (+) makin menurun                                                     Inj. Ketorolac 1 amp/8j/IV
     Cefalgia (+) makin menurun                                                     Inj. Ranitidine 1 amp/ 8 j/IV
                                                                                                      Longgarkan elastic verban
Hari II- IV:
KU Baik                                                                                           R/ Inj Ceftriaxone 1 gr/12j /IV
      Gangguan Penglihatan (-)                                                         Inj Dexamethason 1 amp/ 8 j/IV
      Vertigo (+) makin menurun                                                     Inj. Ketorolac 1 amp/8j/IV
     Cefalgia (-)                                                                                Inj. Ranitidine 1 amp/ 8 j/IV
                                                                                                      GV Luar
Hari V:
 KU Baik                                                                                           R/ Inj Ceftriaxone 1 gr/12j /IV
      Gangguan Penglihatan (-)                                                         Inj Dexamethason 1 amp/ 8 j/IV
      Vertigo (-)                                                                                 Inj. Ketorolac 1 amp/8j/IV
      Cefalgia (-)                                                                               Inj. Ranitidine 1 amp/ 8 j/IV
       Otore (-) stollcell(+)                                                           Toilet telinga dan aff tampon dalam
Hari VI- VII:
 KU Baik                                                                                           R/ Inj Ceftriaxone 1 gr/12j /IV
      Gangguan Penglihatan (-)                                                         Inj Dexamethason 1 amp/ 8 j/IV
      Vertigo (-)                                                                                 Inj. Ketorolac 1 amp/8j/IV
      Cefalgia (-)                                                                               Inj. Ranitidine 1 amp/ 8 j/IV
       Otore (-) stollcell(-)                                                                Toilet telinga

Hari VII:
 KU Baik                                                                                           aff infus
      Gangguan Penglihatan (-)                                                           ciprofloxacin  2 x 500 mg
      Vertigo (-)                                                                                   metronidazole 3 x 500 mg
      Cefalgia (-)                                                                                  metilprednisolon 3 x 4 mg
       Otore (-) stollcell(-)                                                                  Toilet telinga, kontrol poli THT
5 hari  kontrol poli THT :
KU Baik                                                                                          
      Gangguan Penglihatan (-)                                                           ciprofloxacin  2 x 500 mg
      Vertigo (-)                                                                                   metronidazole 3 x 500 mg
      Cefalgia (-)                                                                                  metilprednisolon 3 x 4 mg
       Otore (-)                                                                                    Toilet telinga

CT Scan Kepala kontrol  Potongan axial :
Kesan : Tidak terdapat abses cerebelli
Setelah itu pasien tidak pernah datang lagi kontrol di poli THT
PEMBAHASAN
Dilaporkan suatu kasus multiple otitis media supuratif kronis disertai sindrom gradenigo pada pasien laki – laki umur 26 tahun yang ditangani secara komprehensif dari bagian THT, bagian bedah saraf, neurologi dan mata. Pasien ini telah menjalani prosedur operatif mastodektomi radikal dan drainase abses otak.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anamnesis dan pemeriksaan fisis berupa keluhan nyeri retrorbital, diplopia dan strabismus, otore kronik (trias sindrom gradenigo), udem dan nyeri di belakang telinga, kelumpuhan otot wajah, sefalgia hebat, mual, muntah, riwayat kejang. Dari pemeriksaan penunjang  berupa CT Scan Kepala dan mastoid potongan axial  nampak adanya abses cerebelli dan otomastoiditis sinistra.
Berdasarkan diagnosis tersebut dilakukan multidisiplin terapi dan tindakan operatif mastoidektomi radikal dan drainase abses otak kerjasama dengan bagian bedah saraf. Ditemukan sekitar 17 cc abses otak, cholesteatoma pada cavum mastoid, jaringan granulasi pada cavum timpani dengan tulang – tulang pendengaran yang tidak utuh lagi.
Komplikasi pasca tindakan setelah 5 hari dirawat tidak ada lagi vertigo dan cefalgia, penglihatan jelas dan tidak ada diplopia. Dari hasil CT Scan Kepala kontrol potongan axial tidak ditemakan lagi abses otak. Karena keluhan yang sudah hilang sama sekali pasien ingin pulang paksa dan tidak pernah kontrol lagi di poli THT.
Perlunya pengobatan Otitis media supuratif kronik secara dini untuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengingat angka kejadian komplikasi yang sudah menurun akibat ditemukannya antibiotik pada era sekarang. Namun pada kasus ini komplikasi yang ditemukan banyak sekali oleh karena proses radang sudah berlangsung 15 tahun tanpa pengobatan yang adekuat. Kasus ini sangat jarang  dengan ditemukannya  sindrom gradenigo.      












DAFTAR PUSTAKA
1.      Djaafar Z.A., dkk, Kelainan Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

2.      Wasem S. Otitis Media. Available from URL : http://www.emedicine.com. Acsessed on Nov 14th, 2009.

3.      National Institute of Deafness. Otitis Media. Available from URL : http://www. nicd.nih.gov/directory. Acsessed on Nov 14th, 2009.

4.      Ardian J. Otitis Media Supuratif Kronik. Available from URL : http://library.usu.ac.id. Acsessed on Nov 14th, 2009

5.      Liston S.L., et al. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga. Boeis Buku Ajar Penyakit THT ed.6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997.

6.      Aboet A. Radang Telinga Menahun. Univ. Medan. 2007. Available from URL : http://library.usu.ac.id. Acsessed on Nov 14th, 2009.

7.      Bluestone C.D, et al. Panel Reports : Definitions, Terminology, and Classifications of Otitis Media. Available from URL : http://www.annals.com/toc/auto_article_process.php?year=2002&page=8&id=15079&sn=188. Acsessed on Nov 12th, 2009.

8.      Chole R.A. Chapter 157 : Chronic Otitis Media, Mastoiditis, and Petrositis. Available from URL : http://famona.tripod.com/ent/cummings/cumm157.pdf. Acsessed on Nov 12th, 2009.

9.      Yates P.D. et al. Otitis Media. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery second edition. New York : Mc.Graw and Hill. 2008.

10.  Lee K..J. et al, Infections of The Ear, Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery 8th edition. Connecticut : Mc.Graw-Hill.

11.  Vaqsquez E, et al. Imaging of Complications of Acute Mastoiditis in Children. Available from URL http://radiographics.rsna.org/content/23/2/359.figures-only. Acsessed on Nov 16th, 2009.

12.  Devic M, Boucher M, Raveau M (Apr 1966). "Some cases of Gradenigo-Lannois syndrome". Journal de médecine de Lyon 47 (96): 537–547.

13.  Motamed, Kalan. Gradenigo’s syndrome.http:/www.postgragmej.com .2000. 559-60




Tidak ada komentar:

Posting Komentar