Selasa, 02 Oktober 2012
Sabtu, 29 September 2012
LAPORAN KASUS
SINDROM GRADENIGO PADA OTITIS MEDIA SUPURATIF
KRONIS DENGAN MULTIPEL KOMPLIKASI
PENDAHULUAN
Otitis media adalah radang atau
infeksi pada daerah mukosa telinga tengah, peradangan ini dapat terjadi
sebagian ataupun seluruh mukosa telinga, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan
sel-sel mastoid. Proses inflamasi
umumnya berawal dari infeksi yang terjadi dari saluran pernapasan atas yang
menyebar sampai ke telinga tengah. Secara
umum, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif . Dan
setiap pembagian tersebut memiliki bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media
supuratif akut (otitis media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis
(OMSK). Selain itu, terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media
tuberkulosa atau otitis media sifilitik. (1,2,3,4)
Bila
keadaan akut dari otitis media tidak ditangani dengan baik atau tidak diobati
dengan tuntas, maka akan berkembang menjadi kronik. Pada keadaan ini tidak
hanya dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran, melainkan juga dapat
mengakibatkan komplikasi sehingga terjadi juga gangguan di tempat lain. (1,2,3,4)
Komplikasi
dari otitis media secara umum dibagi menjadi dua, yaitu intratemporal dan
intrakranial. Komplikasi intratemporal terdiri dari parese nervus fasialis,
labirintitis, abses retroaurikuler, fistel retroaurikuler, abses citelli, abses
bezold. Sedangkan komplikasi intrakranial terdiri dari abses subdural, abses
epidural, tromboflebitis sinus lateral, meningitis, abses otak, dan
hidrosefalus otitis. Penanganan komplikasi otitis media haruslah mencakup dua
hal, yaitu penanganan yang efektif terhadap komplikasinya dan penanganan
terhadap penyebab primernya. Penanganan dengan menggunakan antibiotika dosis
tinggi haruslah diberikan secepatnya. Selain itu penanganan secara operatif
juga haruslah dipertimbangkan untuk mengeliminasi penyebab primernya.(2,3)
Anatomi Telinga(1,5)
Gambar 1
Anatomi Telinga
Membran
timpani berbentuk bulat dan cekung bila dilihat dari arah meatus akustikus
eksternus dan bagian oblik terhadap sumbu meatus akustikus eksternus. Bagian
atas disebut pars flaksida (membran Sharpnell), sedangkan bagian bawah pars
tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar
ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu
lapis lagi di tengah, yaitu lapisan lamina propria yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar
dan sirkuler pada bagian dalam.
Tulang
pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus longus maleus
melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada
stapes. Stapes terletak pada foramen ovale yang berhubungan dengan koklea.
Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Tuba
eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring
dengan telinga tengah. Bagian lateral tuba eustachius adalah yang bertulang
sementara dua pertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor
timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus
terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar
tengkorak untuk masuk ke faring. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka
melalui kontraksi musculus levator palatinum dan tensor palatinum. Tuba ini
berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani.
Anatomi Os Temporal(5)
Gambar 2
Os Temporal , tampak lateral
Gambar 3
Os
Temporal, tampak bawah
Os
temporal merupakan salah satu penyusun neurocranium (tulang-tulang yang
membungkus otak) dimana neurocranium terdiri dari beberapa tulang pipih yang
berhubungan satu dengan yang lainnya. Os temporal yang membungkus telinga
berasal dari empat bagian terpisah yaitu pars squamosa, pars mastoideum, pars
timpanica dan pars petrosa . Bagian liang telinga yang bertulang berasal dari
cincin timpani. Nervus fascialis pada bayi tidak terlindung oleh prosessus
mastoideus mengingat prosessus mastoideus belum terbentuk pada saat lahir dan
ini berarti nervus fascialis bayi terletak sangat superfisial. Turunan resessus
tubotimpanikum yang terisi udara meluas dari telinga tengah melalui aditus
sampai di antrum, yaitu daerah yang terisi udara dalam os mastoid. Namun
demikian seberapa jauh perluasan pneumatisasi pada bagian prosessus mastoideus
yang tersisa sangatlah bervariasi. Sebagian tulang amat buruk pneumatisasinya
atau menjadi sklerotik, lainnya dengan pneumatisasi sedang atau diploik..
Insidens Otitis Media
Di
Amerika Serikat dilaporkan kasus Otitis media sering terjadi pada anak-anak
antara periode neonatal sampai sekitar umur 7 tahun, dengan hampir 70 % dari
anak-anak tersebut mengalami 1 atau lebih episode sampai ulang tahun mereka
yang ketiga. Walaupun pada umumnya Otitis Media lebih sering didapatkan pada
pasien anak, namun Otitis media dapat juga ditemukan pada pasien dewasa. Dan
tidak ada perbedaan jenis kelamin yang rentan terhadap komplikasi diremukan
pada pasien dengan Otitis Media. (2,3)
Keseluruhan
insidens dari semua komplikasi otitis media telah menurun sejak di dilakukan
pengobatan efektif dengan antibiotik. Pada tahun 1980an, insidens menurun
hampir 0,02%. Pada tahun 1995, kangsaranak et al. melakukan penelitian terhadap
24,321 pasien dengan otitis media. Dari hasil penelitiannya menunjukkan
komplikasi intrakranial rata-rata 0,36%. (10,11). Pada saat era preantibiotik,
angka mortalitas dari komplikasi intrakranial otitis media dilaporkan sekitar
diatas 76,4%. Penelitian terbaru melaporkan dari 24,321 pasien yang menderita
komplikasi intrakranial akibat otitis media menunjukkan angka mortalitas
sekitar 18,4 %.
Klasifikasi Otitis Media 1
1.
Otitis Media
Akut
Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik
seperti
Streptokokus
hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus. Selain itu
kadang-kadang ditemukan juga Hemofilus influenza, Escherichia colli,
Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aerugenosa
Perubahan mukosa
telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium yaitu:
a.
Stadium Oklusi Tuba Eustachius
b.
Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)
c.
Stadium Supurasi
d.
Stadium Perforasi
e.
Stadium Resolusi
2.
Otitis Media Supuratif
Kronis1
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi
kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang
keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media akut
dengan perforasi membran timpani menjadi Otitis Media supuratif kronik apabila
prosesnya sudah lebih dari 2 bulan .Beberapa faktor yang menyebabkan OMA
menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat,
virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau
higiene buruk.
OMSK dapat
dibagi menjadi 2 jenis yaitu (1) OMSK tipe aman (tipe mukosa= tipe benigna) dan
(2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang= tipe maligna). Proses peradangan pada OMSK
tipe benigna terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang.
Perforasi terletak di sentral dan tidak terdapat kolesteatoma. OMSK tipe bahaya
letak perforasinya di marginal atau atik, kadang-kadang terdapat juga
kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi
yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe maligna.
Gambar 4
Proses
Otitis Media
Klasifikasi Komplikasi Otitis Media (1,2)
Komplikasi intrakranial
meliputi:
a.
Meningitis
b.
Abses subdural
c.
Abses
ekstradural
d.
Trombosis sinus
lateralis
e.
Abses otak
f.
Hidrosefalus
otitis
Komplikasi
intratemporal meliputi :
a.
Mastoiditis
b.
Labirintitis
c.
Paralisis fasialis
d.
Petrositis
Komplikasi Intratemporal Otitis Media
1. Mastoiditis10
Mastoiditis akut (MA) merupakan perluasan infeksi
telinga tengah ke dalam pneumatic system selulae mastoid melalui antrum
mastoid. Proses infeksi ini bisa saja murni dapat mengakibatkan Mastoiditis.Terjadinya
mastoiditis ini dapat secara akut ataupun kronik.
Tidak ada gejala khusus yang membedakan infeksi
mastoid oleh karena perluasan otitis media dengan mastoiditis secara umum.
Gejalanya serupa seperti, eritema pada daerah mastoid, protrusi dari pinna,
pembengkakan telinga, daerah terinfeksi menjadi lunak, serta rasa nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien dan
ditemukan perforasi membran timpani sedang, total atau atik. Apabila
proses ini terjadi terus-menerus maka dapat mengakibatkan terjadinya
Mastoiditis Akut disertai Osteolitis dimana
terjadi destruksi tulang trabekula yang
memisahkan sel-sel mastoid. Setelah 10-14 hari akan terjadi resolusi dari
proses infeksi ini, namun apabila gagal dalam stadium ini maka terjadilah
subakut Mastoditis , dimana gejala umunya tidak ditemukan, tetapi gejala
seperti otalgia dan nyeri pada belakang telinga, dapat dikeluhkan oleh pasien.
Proses apabila tidak diobati dengan cepat maka dapat berkomplikasi secara
intratemporal yang lebih luas bahkan dapat mencapai daerah intrakranial.
Pemeriksaan penunjang yang dapat diminta
adalah, pemeriksaan kultur mikrobiologi. Pemeriksaan lainnnya adalah
CT-scan kepala, MRI-kepala dan foto polos kepala.
Gambar 5
CT Scan Potongan Aksial, Mastoiditis Akut Kanan
|
2.
Labirintitis10
Labirintitis
yang mengenai seluruh bagian labirin disebut labirintitis generalisata ,
dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirintitis yang
terbatas (labirintitis sirkumskripta) menyebabkan terjadinya vertigo saja atau
tuli saraf saja. Labirintitis terjadi
oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfe Terdapat dua bentuk
labirintitis yaitu labirintits serosa dan labirintits supuratif.
Gejala dan tanda
serangan akut labirintitis adalah vertigo spontan dan nistagmus rotatoar,
biasanya ke arah telinga yang sakit. Kadang-kadang disertai mual dan muntah dan tuli sensorineural.Tes fistula akan
positif. Pada labirintitis serosa ketulian bersifat temporer, biasanya tidak
berat , sedangkan pada labirintitis supuratif terjadi tuli saraf total dan permanen.
Bila pada
labirintitis serosa ketulian menjadi berat atau total maka mungkin telah
terjadi perubahan makan menjadi labirintitis supuratif .
Labirintitis
supuratif difus, ditandai dengan tuli total pada telinga
yang sakit di ikuti dengan vertigo berat, mual, muntah, dan nistagmus spontan ke arah
telinga yang sehat, serta
ditemukan perforasi membran timpani
sedang, total atau atik. Labirintitis supuratif difus dapat merupakan kelanjutan dari
labirintits serosa yang infeksinya masuk melalui tingkap lonjong atau tingkap
bulat.
3.
Paralisis Fasialis (7,9)
Paralisis fasialis dapat
terjadi sebagai komplikasi baik dari akut maupun kronik otitis media. Ada dua
mekanisme dimana otitis media dapat menyebabkan paralisis fasialis, yaitu
akibat produksi toksin bakteri secara lokal atau akibat tekanan langsung
terhadap nervus dari kolesteatoma ataupun jaringan granulasi.
Pembagian derajat dari
paralisis fasialis dikemukakan oleh House dan Brackmann yang saat ini diterima
secara umum.
Gambar 6
Sistem
Derajat Kerusakan Nervus Fasialis Versi House-Brackmann
Jika Paralisis nervus
fasialis terjadi sebagai komplikasi dari otitis media supuratif kronik, maka
tindakan operatif yang segera disertai dengan dekompresi nervus fasialis sangat
diindikasikan.
4. Petrositis (7,8,9)
Salah satu dari komplikasi dari otitis media
supuratif ini dapat terjadi baik secara akut ataupun kronik. Petrositis sendiri
merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Pada bentuk yang akut, diketahui
bahwa perluasan dari mastoiditis ke arah apeks petrosa yang berisi dengan
udara. Apeks petrosa dapat pneumatik (berisi udara), diploik (berisi sumsum
tulang) ataupun sklerotik (berupa tulang padat). Perluasan secara langsung dari
infeksi di bagian telinga tengah melalui jalur udara pneumatik tersebut ke
apeks petrosa diduga sebagai etiologi dari petroisitis.
Gejala dari petrositis biasanya tersamar.Pada
penelitian terhadap 8 orang pasien dengan petrositis, empat pasien mengeluh
nyeri fasial yang dalam, dua pasien dengan paralisis abdusens, dan dua pasien
dengan gejala meningitis.
Pasien dengan supurasi dapat bermanifestasi
menjadi beberapa simptom dan tidak satupun yang menjadi tanda patognomonis dari
petrositis. Pada pasien dengan riwayat otomastoiditis yang berkepanjangan,
nyeri fasial yang dalam, dan infeksi persisten, serta ditemukan perforasi membran
timpani sedang, total atau attik, diagnosis petrositis ini
dapat dipikirkan.Pada pemeriksaan fisis pasien petrositis, biasanya didapatkan
riwayat otorea kronik.
Oleh karena hubungan yang dekat dengan cabang
oftalmikus dari nervus trigeminus dan nervus abdusens dari apeks petrosa,
tampakan klasik dari petrositis berupa otore berkaitan dengan nyeri
retroorbital dan kelumpuhan otot rektus lateralis yang biasanya disebut sebagai
Sindrom Gradenigo.
Kecurigaan terhadap petrositis dapat
diklarifikasi dengan CT-scan sebagai modalitas yang terpilih. CT-scan dengan
resolusi yang tinggi dapat menunjukkan detail dari apeks petrosae. Asimetris
dari apeks petrosae belum dapat dijadikan sebagai patokan karena hal ini dapat
terjadi pada beberapa orang normal (Roland, 1990). Jika CT-scan mengindikasikan
petrositis, maka pemeriksaan MRI dapat menambah informasi tentang cairan
ataupun jaringan yang mengisi apeks petrosa.
Gambar 7
CT Scan dan MRI Potongan Aksial Pada Petrositis
(Ket : Pasien anak
perempuan, 7 tahun, dengan keluhan demam, nyeri dalam pada wajah sebelah
kanan, dan diplopia. (1) CT scan potongan aksial menunjukkan peningkatan
densitas dari aerasi mastoid dan erosi dari apex petrosae kanan, (2) CT
scan kontras menunjukkan daerah
hipodens tanpa disertai peningkatan densitas jaringan lunak, (3&4) MRI
T1 dan T2 menunjukkan lesi, (5) CT Scan potongan aksial post mastoidektomi
menunjukkan resolusi.11)
|
Penatalaksanaan petrositis mengarah kepada
penanganan infeksi. Jika antibiotik topikal maupun sistemik tidak dapat
mengontrol infeksi yang terjadi,
pendekatan secara operatif dapat dipertimbangkan.
Sindrom
Gradenigo12,13
Sinonim
: Gradenigo-Lannois syndrome, petrous
apicitis
Defenisi:
Kompliklasi yang jarang dari otitis media dan mastoiditis yang melibatkan apeks
petrosus tulang temporal.
Gejala sindrom ini termasuk
:
1.
Nyeri
retrorbital yang disebabkan nyeri yang berasal dari cabang optalmicus nervus trigeminus
2.
Paralisis
ipsilateral dari nervus abdusens
3.
Otitis
media
Gejala
lain dapat termasuk fotofobia, lakrimasi berlebihan, demam, dan penurunan
reflex kornea.
Sindrom ini
ditemukan oleh Giuseppe Gradenigo,
seorang ahli THT dari Italia, dan Maurice Lannois. Gejala sisa yang dapat
terjadi dengan adanya sindrom gradenigo :
1. Meningitis
2. Abses intracranial
3. Penyebaran ke basis crania dan melibatkan nervus
kranialis 9, 10, 11 ( sindrom vernet)
4. Abses prevertebral / paraparingeal
5. Penyebaran ke plexus simpatikus sekitar carotid sheet
IDENTITAS
PASIEN
1. NAMA : Mr. S
2. UMUR : 26 TAHUN
3. JENIS
KELAMIN : LAKI- LAKI
ANAMNESIS (Rujukan dari RS
Daya) tanggal 10/3/2011
KU : Demam menggigil
AT : Dialami sejak ± 1
minggu yang lalu SMRS, diplopia S/ (+),
penglihatan kabur (+) sejak 1 hari SMRS, nyeri disekitar mata S/ dan cefalgia (+)
terutama di daerah frontotemporal S/ , mual (+), muntah (+) kejang (-). Otalgia
S/ (+), otore S/ (+), tinitus (-), gangguan pendengaran S/(+), vertigo (-),
riwayat otore (+) sejak 15 tahun yang lalu, terdapat benjolan di belakang
telinga (+) sejak 2 minggu yang lalu, nyeri. Keluhan di hidung dan tenggorokan
tidak ada.
PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan
umum : Baik / Gizi cukup / Composmentis
Tanda
vital : T : 110/70 mmHg
N : 96 x/menit
P : 30 x/menit
S : 38,5oC
PEMERIKSAAN
FISIS THT
Otoskopi :
MAE D/ kesan normal, membran timpani intak, pantulan cahaya +
MAE S/
hiperemis, sekret mukopurulen, membran timpani perforasi total, mukosa cavum
timpani hiperemis.
Rinoskopi ant. : Mukosa kavum nasi kesan
normal, konka kesan normal
Faringoskopi : Tonsil T1/T1 tenang, mukosa orofaring tidak
hiperemi
Terdapat parese fasialis perifer minimal dan
strabismus
LABORATORIUM
( 10-03-2011 )
WBC 10,2 x 103 /uL Ureum 11
mg/dL
RBC 5,02 x 106 /mm Kreatinin 0,6
mg/dL
Hb 14,8 gr/dL SGOT 27 U/L
Plt 204.000 /uL SGPT 50 U/L
GDS 130 mg/dL Protein total 6,9
Albumin 3,4
CT 9’30’’ BT 3’30’’
PT 15,9 APTT 25,5
HBsAg Negatif Anti HCV Negatif
FOTO THORAKS PA (24-11-2010)
Kesan : Aspek bronchitis
Cardiomegaly dengan elongatio et dilatatio
aortae
CT Scan Mastoid Potongan Axial :
Telinga
Kiri:
·
Tampak lesi isodens kesan homogen(32,64
HU) pada telinga tengah dan tidak tampak lagi air cell mastoid
·
Tidak
tampak destruksi tulang sekitarnya.
·
Meatus acusticus dalam batas normal.
Osikula sulit dinilai.
·
Cochlea
, canalis semisirkularis, dan meatus acusticus internus.
Telinga
Kanan :
·
Meatus
acusticus eksternus dalam batas normal
·
Membran
timpani dalam batas normal
·
Osikula
intak, tidak tampak perselubungan pada telinga tengah
·
Cochlea
, canalis semisirkularis, dan meatus acusticus internus
·
Air
cell mastoid dalam batas normal, tidak tampak destruksi tulang
Kesan
: Otomastoiditis kiri
CT-SCAN KEPALA POTONGAN AXIAL (7-3-2011)
- Tampak
lesi hipodens (18,5 HU) batas tegas dinding tebal pada region occipital S/
- Tampak
lesi isodens kesan homogen (33,62 HU) pada telinga tengah kiri dan tidak tampak
lagi air cell mastoid. Tidak tampak destruksi jaringan sekitar.
- Densitas
grey and white matter dalam batas normal
- Sulci
and gyri dalam batas normal
- Tidak
tampak midline shift
- Sistem
ventrikel dan ruang subarachnoid dalam batas normal
- Sinus
paranasalis, kedua orbita dan ceel mastoid D/ yang terscan dalam batas normal
- Tulang-tulang
yang terscan kesan intak
Kesan :
Abses cerebella S/
Foto
Polos Mastoid
·
Meatus acusticus kanan baik, kiri
terselubung
·
Aircell mastoid kanan baik, kiri sangat
berkurang
·
Periantrum kanan baik, kiri sangat
sklerotik
·
Tulang – tulang yang tervisualisasi baik
Kesan
: mastoiditis kronik sinistra
Foto
Thorax :
Kesan : Tidak
tampak kelainan radiologik
DIAGNOSIS
Otitis media supuratif kronik
S/ + Abses retroaurikula S/ + Sindrom Gradenigo + Abses cerebellum S/ + parese
nervus fasialis S/
PENANGANAN
Jam
14.00
·
IVFD RL : D5% = 1:1 = 20 tetes / menit
·
Injeksi cefotaxime 1 gr/ 12 j/ IV
·
Injeksi Dexametaxone 1 amp/ 8 j/ IV
·
Metronidazole 500 mg/ 8 j/ IV
·
Injeksi ranitidine 1 amp/ 8 j/ IV
·
Drainase abses retroaurikula S/ : tampak
pus mukopurulen sebanyak 5 cc
·
Insisi abses retroaurikula s/ dan pasang
drain
·
Toilet telinga dan tampon burowi S/
·
Kultur dan sensitivitas antibiotik
·
Konsul bagian mata dan Neuro
Konsul mata
Pemeriksaan
oftalmologi :
VOD 3/
60 RB TOD 17,3 mm Hg
VOS 3/
60 RB TOS 17,3 mm Hg
Kesan : Diplopoia
Binokuler e.c Parese N. VI
Anjuran
: Rawat Bersama
Konsul Neuro
Status Neurologis:
GCS 15 (E4M3 V5)
Fungsi Kortikal Luhur : dBN
Rangsang meanings: Kaku kuduk
tidak ada.
Nervus cranialis pupil bundar
anisokor diameter 2,5 mm/ 5 mm
RCL +/+ RCTL +/+
FODS kesan normal
Parese n.VI S/ (+)
Refleks fisilogis S/ menurun,
tonus otot S/ menurun
Sensoris : hemiplegia S/
SSO: kesan Normal
Romberg test (+) jatuh ke
kiri
D/ : Vertigo sentral +
cefalgia kronik e.c abses cerebelli
Anjuran : Rawat bersama
Ampicillin 2 gr/ 6 j/ IV
Chloramphenicol 1 gr/ 6 j/ IV
Piracetam 3 gr/ 8 j /IV
Dexamethason 1 amp/ 8 j / IV
Ranitide 1 amp/ 8 j/ IV
Metronidazole 500 mg/ 8 j/IV
Dimenhidrinat 2
x1
Tanggal 11/3/2011
Jam 09.00 KU Baik
Vertigo (-), cefalgia (+),
demam (-)
Drainase abses retroaurikuer
Otore S/(+) diplopia (+) gangguan
penglihatan (+) Terapi injeksi
lanjut
Tunggu hasil kultur dan sensivitas
PTA: D/ CHL ringan (35 dB)
S/
CHL sedang berat (65 dB)
Test fistula : Negatif
Test vestibuler : tidak ada
gangguan
Jam
20.00
KU: Lemah
Kejang (+), cefalgia makin memberat, mual (+),muntah
(+) penglihatan mata S/ makin kabur
TD: 110/70
Nadi 76x / menit
Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu : 38C
Konsul
Cito Bagian Bedah Saraf
Jawaban : Rawat Bersama
Rapid Test à (-)
Ceftriaxone 2 gr/ 8 j/ IV
Metronidazole
500 mg/ 8 j/ IV
Awasi ketat tanda vital
Hasil
kultur dan sensitivitas antibiotik :
Ceftriaxone 34
Cefepime (maxipime) 32
Levofloxacin 30
Aztrenam 30
Rencana
:
Operasi Mastoidektomi Radikal
S/ + Drainase Abses Cerebellum kerjasama Bedah Saraf
LAPORAN
OPERASI CITO
HARI/TANGGAL : Kamis / 17-03-2011 Jam 01.00 malam
1.
Pasien baring terlentang dalam GA, ETT
terpasang
2.
Desinfeksi lapangan operasi, pasang duek
steril
3.
Buat
landmark 1 mm dari sulcus retroaurikular
4.
Infiltrasi
daerah landmark, insisi landmark , perdalam secara tajam dan tumpul sampai
tampak perisoteum.
5.
Terdapat
fistel pada periosteum, perlebar fistel dengan hajet sehingga antrum mastoid
terexpose.
6.
Terdapat
cholesteatoma di antrum mastoid, bersihkan
7.
Bedah
saraf mencari daerah menings, sampai di temukan selaput menings dan lakukan aspirasi dengan spoit 10 cc dan
abbocath 18.
8.
Pus
keluar sebanyak + 17 cc, dibersihkan
9.
Tampak
sebagian dinding posterior MAE sudah destruksi, runtuhkan
10. Buat meatoplasty
11. Tutup duramater dengan perekat
12. Pasang tampon antibiotik
13. Jahit luka insisi
14. Op selesai , perdarahan durante OP + 150 cc
FOLLOW UP :
Hari I :
KU Baik R/
Inj Ceftriaxone 1 gr/12j /IV
Gangguan Penglihatan (-)
Inj Dexamethason 1 amp/ 8 j/IV
Vertigo (+) makin menurun Inj. Ketorolac 1
amp/8j/IV
Cefalgia (+) makin menurun Inj. Ranitidine 1 amp/ 8 j/IV
Longgarkan elastic verban
Hari II- IV:
KU Baik R/
Inj Ceftriaxone 1 gr/12j /IV
Gangguan Penglihatan (-)
Inj Dexamethason 1 amp/ 8 j/IV
Vertigo (+) makin menurun Inj. Ketorolac 1
amp/8j/IV
Cefalgia (-) Inj. Ranitidine 1 amp/ 8 j/IV
GV Luar
Hari V:
KU
Baik
R/ Inj
Ceftriaxone 1 gr/12j /IV
Gangguan Penglihatan (-)
Inj Dexamethason 1 amp/ 8 j/IV
Vertigo (-)
Inj. Ketorolac 1 amp/8j/IV
Cefalgia (-) Inj. Ranitidine 1 amp/ 8 j/IV
Otore
(-) stollcell(+) Toilet telinga dan aff tampon dalam
Hari VI- VII:
KU
Baik R/
Inj Ceftriaxone 1 gr/12j /IV
Gangguan Penglihatan (-)
Inj Dexamethason 1 amp/ 8 j/IV
Vertigo (-)
Inj.
Ketorolac 1 amp/8j/IV
Cefalgia (-) Inj. Ranitidine 1 amp/ 8 j/IV
Otore (-) stollcell(-) Toilet telinga
Hari VII:
KU
Baik aff
infus
Gangguan Penglihatan (-)
ciprofloxacin 2 x 500 mg
Vertigo (-) metronidazole
3 x 500 mg
Cefalgia (-) metilprednisolon 3 x 4 mg
Otore (-) stollcell(-) Toilet telinga, kontrol poli THT
5 hari
kontrol poli THT :
KU Baik
Gangguan Penglihatan (-)
ciprofloxacin 2 x 500 mg
Vertigo (-)
metronidazole 3 x 500 mg
Cefalgia (-) metilprednisolon 3 x 4 mg
Otore (-)
Toilet telinga
CT Scan Kepala kontrol Potongan axial :
Kesan : Tidak terdapat abses cerebelli
Setelah itu pasien tidak pernah datang lagi
kontrol di poli THT
PEMBAHASAN
Dilaporkan suatu kasus multiple otitis media
supuratif kronis disertai sindrom gradenigo pada pasien laki – laki umur 26
tahun yang ditangani secara komprehensif dari bagian THT, bagian bedah saraf,
neurologi dan mata. Pasien ini telah menjalani prosedur operatif mastodektomi
radikal dan drainase abses otak.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya
anamnesis dan pemeriksaan fisis berupa keluhan nyeri retrorbital, diplopia dan
strabismus, otore kronik (trias sindrom gradenigo), udem dan nyeri di belakang
telinga, kelumpuhan otot wajah, sefalgia hebat, mual, muntah, riwayat kejang.
Dari pemeriksaan penunjang berupa CT
Scan Kepala dan mastoid potongan axial
nampak adanya abses cerebelli dan otomastoiditis sinistra.
Berdasarkan diagnosis tersebut dilakukan multidisiplin
terapi dan tindakan operatif mastoidektomi radikal dan drainase abses otak
kerjasama dengan bagian bedah saraf. Ditemukan sekitar 17 cc abses otak,
cholesteatoma pada cavum mastoid, jaringan granulasi pada cavum timpani dengan
tulang – tulang pendengaran yang tidak utuh lagi.
Komplikasi pasca tindakan setelah 5 hari
dirawat tidak ada lagi vertigo dan cefalgia, penglihatan jelas dan tidak ada
diplopia. Dari hasil CT Scan Kepala kontrol potongan axial tidak ditemakan lagi
abses otak. Karena keluhan yang sudah hilang sama sekali pasien ingin pulang
paksa dan tidak pernah kontrol lagi di poli THT.
Perlunya pengobatan Otitis media supuratif
kronik secara dini untuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengingat angka
kejadian komplikasi yang sudah menurun akibat ditemukannya antibiotik pada era
sekarang. Namun pada kasus ini komplikasi yang ditemukan banyak sekali oleh
karena proses radang sudah berlangsung 15 tahun tanpa pengobatan yang adekuat.
Kasus ini sangat jarang dengan
ditemukannya sindrom gradenigo.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Djaafar
Z.A., dkk, Kelainan Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.
2. Wasem
S. Otitis Media. Available from URL : http://www.emedicine.com.
Acsessed on Nov 14th, 2009.
3.
National Institute of Deafness. Otitis Media.
Available from URL : http://www. nicd.nih.gov/directory. Acsessed on Nov 14th,
2009.
4.
Ardian J. Otitis Media Supuratif Kronik. Available
from URL : http://library.usu.ac.id. Acsessed on Nov 14th,
2009
5. Liston
S.L., et al. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga. Boeis Buku Ajar
Penyakit THT ed.6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997.
6.
Aboet A. Radang Telinga Menahun. Univ. Medan. 2007.
Available from URL : http://library.usu.ac.id. Acsessed on Nov 14th,
2009.
7. Bluestone C.D, et al.
Panel Reports : Definitions, Terminology, and Classifications of Otitis Media.
Available from URL : http://www.annals.com/toc/auto_article_process.php?year=2002&page=8&id=15079&sn=188.
Acsessed on Nov 12th, 2009.
8. Chole
R.A. Chapter 157 : Chronic Otitis Media, Mastoiditis, and Petrositis. Available
from URL : http://famona.tripod.com/ent/cummings/cumm157.pdf.
Acsessed on Nov 12th, 2009.
9. Yates
P.D. et al. Otitis Media. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head
and Neck Surgery second edition. New York : Mc.Graw and Hill. 2008.
10. Lee
K..J. et al, Infections of The Ear, Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery 8th edition. Connecticut : Mc.Graw-Hill.
11. Vaqsquez
E, et al. Imaging of Complications of Acute Mastoiditis in Children. Available
from URL http://radiographics.rsna.org/content/23/2/359.figures-only.
Acsessed on Nov 16th, 2009.
12. Devic M, Boucher M, Raveau M (Apr 1966). "Some cases
of Gradenigo-Lannois syndrome". Journal de médecine de Lyon 47
(96): 537–547.
13. Motamed, Kalan.
Gradenigo’s syndrome.http:/www.postgragmej.com .2000. 559-60
Langganan:
Postingan (Atom)