Sabtu, 29 September 2012

Dekompresi endoskopik orbital dan nervus optik


 DEKOMPRESI ENDOSKOPIK ORBITAL DAN  NERVUS OPTIK
I.                                  PENDAHULUAN
Bedah sinus endoskopik yang biasanya dilakukan endonasal mempunyai indikasi   atau manfaat utama yaitu untuk penanganan sinusitis paranasal kronik atau sinusitis paranasal berulang yang kurang atau tidak memberi respon atau hasil yang baik dengan pemberian antibiotik. Disamping indikasi atau manfaat utama tersebut bedah endoskopik mempunyai manfaat lain seperti operasi orbital meliputi  dekompresi orbita, biopsi intraorbital,  dekompresi apeks orbita, nervus optikus, dan operasi dacriocystitis (DCR).(1)
Dekompresi orbital merupakan suatu cara memisahkan sebagian atau seluruhnya satu atau lebih dari empat dinding tulang yang orbita (rongga mata) yang mengkompresi orbital. Hasil dekompresi yang maksimal diperoleh dengan melepaskan dinding medial, dasar orbita dan dinding lateral orbita.(2)
Dekompresi orbital dapat dilakukan secara eksternal dan juga interal dengan bantuan endoskopi. Pada tahun 1911, Dollinger yang pertama mempublikasikan dekompresi orbital dengan pada dinding lateral orbita, Naffziger pada dinding superior, Hisch dan Urbek pada dinding inferior, Seweel pada dinding medial, dan Walsh dan Ogura pada tahun 1947 dengan pendekatan dari medial dan inferior.(3)
Dekompresi orbital dan nervus optik secara endoskopik merupakan pendekatan secarah internal. Pada tahun 1990, Kennedy dkk. memperkenalkan dekompresi orbital endoskopi medial sebagai pilihan dengan minimal invasif. Teknik ini mengurangi sayatan kulit dan ginggiva, menghilangkan trauma saraf, dan mengindari ketidaknyamanan yang berhubungan dengan pemasangan tampon pada pasien dengan operasi caldwell-luc.(3) Dekompresi nervus optikus merupakan kelanjutan dari dekompresi orbital ketika nervus optikus pada dinding lateral sfenoid terkompresi.(2)

II.                                        INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Penelitian yang dilakukan yuen dkk dengan teknik dekompresi endoskopik transnasal pada orbitopati tirotoksik, dari 23 pasien dengan tindakan dekompresi orbital tidak didapatkan komplikasi akibat pembedahan. Pengurangan proptosis pada 22(96%) mata, dengan rata-rata penurunan 4,6 milimeter. Tekanan intraokuler setelah operasi menurun dengan teknik operasi dekompresi pada 20(87%) mata dengan rata-rata penurunan 11 milimeter. 11(73%) dari 15 mata yang tidak menutup dengan sempurna mengalami perbaikan dengan penutupan yang sempurna setelah dekompresi. 4(27%) mata dengan penutupan yang tidak sempurna didapatkan perbaikan dengan menyisahkan jarak. 16(70%) dari pasien tersebut mengalami peningkatan ketajaman penglihatan rata-rata 3 pada garis snellen.(4)
Penelitian juga dilakukan Neda dkk dengan dekompresi endonasal endoskopik orbital pada pasien-pasien optalmopati grave’s dengan hasil perbaikan ketajaman penglihatan sebelum opersi 0,8 ± 0,28 mengalami perbaikan setelah operasi 0,92± 0,21( p = 0,003  t test). Retraksi kelopak mata atas dan kelopak mata bawa membaik setelah operasi (p<0,001). Penurunan rata-rata proptosis pada semua mata 4,6± 1,7milimeter. Penurunan tekanan intraokuler rata-rata 3,4 ± 3,0 mmHg ( p<0,001).(5)
Penelitian yang dilakukan vankatesh dkk dengan operasi lesi atap orbita dengan bantuan endoskopi menunjukkan 6 pasien dengan lesi yang melibatkan atap orbita  dengan operasi kuret  bantuan  endoskopi . Terdapat masing-masing  2 kasus dengan gambaran granuloma kolesterol, histiositis sel-sel langerhan’s dan dermoid orbital. Lesi tersebut berhasil dikeluarkan pada seluruh kasus dengan hasil yang baik.(6)
Kennedy dkk menunjukkan  9 dari 16 orbital (56%) perbaikan penglihatan dan 1 dari 16 orbital (6%) menunjukkan penurunan penglihatan setelah dekompresi orbital. Metson dkk melaporkan perbaikan ketajaman penglihatan  4 dari 22 orbital (18%) dan tidak terdapat pasien yang menunjukkan penurunan ketajaman penglihatan.(7)
Luxenberger dkk menguraikan 7 kasus dekompresi nervus optik yang tidak disebabkan trauma, empat dari pasien tersebut menderita optalmopati penyakit grave’s. literatur menunjukkan pada umumnya pasien dengan neuropati akibaat penyakit graves dengan dekompresi apeks orbital tanpa disertai dekompresi kanal optik memberikan hasil yang baik. Tiga pasien yang lain dengan dekompresi untuk hemagioma apek orbital, neuropati retrobulber dengan penyabab yang tidak jelas, dan komplikasi sinusitis ke orbital akibatnya terhadap penglihatan harus dipertimbangkan secara mendalam.(8)
Pada tahun 1996, Cook dkk melakukan meta-analisis retrospektif kasus yang dipublikasikan pada optik neuropati traumatic dan mendapatkan perbaikan penglihatan yang bermakna dibandingkan dengan tanpa pengobatan tetapi tidak mendapatkan perbedaan perbaikan penglihatan yang bermakna diantara pasien yang diterapi dengan steroid, operasi dekompresi atau kombinasi steroid dan dekompresi. Berbeda dengan randomisasi yang dilakukan Kountakise dkk. menunjukkan bahwa pasien dengan opersi dekompresi diikuti dengan terapi steroid dengan dosis besar lebih baik dan bermakna siknifikan dibandingkan dengan terapi tunggal dosis besar steroid.(9)
III.1     ANATOMI  ENDOSKOPIK HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS
                        Untuk memberikan panduan dalam rangka melakukan diseksi endoskopik hidung dan sinus paransalis maka operator harus mengetahui struktur anatomi dinding lateral rongga hidung yang membentuk Kompleks Ostio Meatal (KOM) dan sinus paranasalis.(10,11)
KOMPLEKS OSTIO MEATAL
            Kompleks ostio meatal ( KOM) adalah unit drainase fungsional yang terdiri atas : prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, sel ager nasi, resesus frontalis dan bula etmoid.(10,11)
a. Prosesus unsinatus
    Prosesus unsinatus berbentuk boomerang memanjang dari anterosuperior ke postero-inferior sepanjang dinding lateral hidung. Melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di postero-inferior pada ujung superior konka inferior.  Prosesus unsinatus membentuk dinding medial infundibulum, sedangkan sisi posterior merupakan sisi bebas. Di Superior melekat pada lamina papirasea, sinus etmoid atau konka media.
b. Bula etmoid
    Terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Permukaan anterior bula etmoid dan tepi bebas bagian posterior prosesus unsinatus membentuk hiatus semilunaris yang merupakan outlet infundibulum.
c. Infundibulum etmoid
    Berbentuk seperti terowongan dengan dinding antero-medial dibatasi oleh prosesus unsinatus, postero-superior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada postero-inferior terdapat ostium naturalis sinus maksilaris sedang proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semiunaris anterior. Infundibulum dapat dilihat dengan jelas dengan mengangkat prosesus unsinatus.  
d. Resesus frontal
    Batas anterior resesus frontal merupakan dinding depan sel anger nasi dan meluas kebelakang dan berbatasan dengan arteri etmoid anterior atau perlekatan bula pada dasar otak. Bagian lateral berbatasan dengan lamina papirasea dan medial berbatasan dengan konka media. Perlengkatan bagian superior prosesus unsinatus menentukan pola drainase sinus frontal.    
e. Sel Ager Nasi
    Sel ager nasi membentuk batas anterior resesus frontalis. Sel ini  berada tepat pada potongan koronal yang sama dengan duktus nasilakrimalis.
Anatomi endoskopik Kompleks ostiomeatal (Kamel R)(11)
Sinus Maksilaris
       Disebut juga antrum high more merupakan sinus yang terbesar ukurannya ± 15 cc pada orang dewasa dan terletak seluruhnya dalam tulang maksila. Dinding depan sedikit cekung dan tipis yang kenal sebagai fossa kanina. Dinding atas atau atap dari sinus maksilaris merupakan dasar dari orbita dan sekaligus sebagai penopang  orbita dan merupakan tulang yang tebal. Pada saat operasi tulang tersebut keleuarkan karena dapat merubah aksis dari orbita sehingga terjadi diplopia.(2,12)
       Dibagian atas tengah dari dinding depan kurang lebih 7-8 mm garis infra orbital terdapat foramen/kanalis infra orbital dimana berjalan nervus infra orbitalis yang  bercabang menjadi nervus dentalis anterior dan superior.(12)
 Dinding medial atau naso antral, dibagi dalam dua segmen, yakni segmen depen bawah setinggi meatus nasi inferior dan segmen belakang atas setinggi meatus nasi media, dimana bermuara ostium sinus maksilaris. Dasar sinus maksilaris, dibentuk oleh prosesus alveolaris dan palatum durum.(10,11,12)
            Identifikasi endoskopik ostium naturalis sinus maksilaris terletak pada bagian posterior infundibulum, dan biasanya tertutup oleh prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior ostium adalah dinding membranosa yang disebut fontanel, terletak di inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat dtembus dengan relatif aman pada daerah sedikit di atas konka inferior dan di dekat fontal posterior.(10,11) Ostium asesori sinus maksilaris ditemukan sekitar 15% - 40% subjek, biasanya terletak bagian superior dan posterior dari prosesus unsinatus di atas perlekatan konka inferior.(12)                          
Sinus Etmoid
            Sinus etmoid dibagi menjadi etmoid anterior dan posterior oleh lamina basalis. Konka media bagian depan melekat pada dasar otak, kemudian perlekatan ini berjalan ke posterior dan membelok ke lateral untuk melekat di lamina papirasea dan membentuk lamina basalis. Diseksi pada daerah ini harus hati-hati karena daerah ini terdapat arteri etmoid anterior di atap sinus etmoid dan membentuk batas posterior resesus frontal serta sel onodi yang merupakan sel etmoid posterior yang berpneumatisasi ke posterolateral atau posterosuperior terhadap dinding depan sfenoid serta melingkari nervus optikus yang kadang-kadang dianggap sebagai sinus sfenoid.( 10,11)           
Sinus Frontal
            Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid yang paling anterior dan superior dan merupakan sel etmoid anterior yang berpneumatisasi di tulang frontal. Dasar sinus frontal menyempit ke arah bawah menyerupai terowongan menuju ostium sinus frontal, kemudian melebar kembali menuju resesus frontal.(10-11)
Resesus frontalis sebagai serambi depan sinus frontal merupakan organ yang penting, karena drenase dan ventilasi sinus frontal sangat tergantung padanya. Disebelah superior resesus frontalis adalah dasar otak dan arteri etmoid anterior, batas lateralnya adalah lamina papirasea, batas medialnya adalah konka media, batas anteriornya adalah sel-sel ager nasi dan batas posteriornya adalah bula etmoid.(1)
Sinus Sfenoid
            Sinus sfenoid dipisahkan oleh septum inter-sfenoid. Kadang ditemukan lebih dari satu septum      , tetapi yang terpenting adalah letak perlengketan ujung septum inter-sfenoid di dasar otak karena mungkin melekat di kanal arteri karotis dan nervus optik. Pada penyelidikan Sethi dkk. terhadap 30 spesimen Asia, ternyata septum inter-sfenoid yang berakhir pada kanal arteri karotis interna didapati pada 40% dan pada kanalis optik pada 7% spesimen..(1)
            Dinding lateral sinus sfenoid merupakan struktur yang penting karena adanya arteri karotis interna dan nervus optik. Renn dkk melaporkan penonjolan arteri karotis interna kedalam sinus pada 71% kasus dan dehinsen sekitar 4%. Sethi dkk mengidentifikasi penonjolan arteri karotis interna pada 93% dan Elwany dkk mengidentifikas terjadinya dehisen pada 4,8% kasus pada populasi indian.(13,14)
                Pada penelitian Sareen dkk. terhadap suku Indian, mereka  tidak menemukan tonjolan nervus optik kedalam sinus. Kesan saraf optik tidak ditemukan. Sethi dkk . melihat tonjolan saraf optik bilateral di semua spesimen mereka kedalam sinus . Elwany dkk. menemukan tonjolan pada 29% specimen. Ini mungkin menunjukkan variasi ras dalam hal hubungan saraf optik ke sinus sfenoid.(13,14)
            Sinus sfenoid bebrnetuk seperti tonjolan yang terletak dilateral septum nasi, pada sudut 30o dari dasar hidung dan 5-7 cm dari spina nasalis anterior. Jika sinus sfenoid dibuka dan bagian anterior diangkat maka tampak tonjolan sela tursika yang disebut tuberkulum sela (terletak pada pertemuan antara atap sfenoid yang datar dengan dinding posterior sfenoid), kanalis optikus ( terletak di dinding lateral sfenoid pada bagian antero-superior) dan indentasi arteri karotis (terletak pada dinding lateral di bagian poster-oinferior)..(10,11)     
   
 Gambar  Anatomi endoskopik Sinus paranasalis (Kamel R)(11)
III.2. ANATOMI ORBITAL DAN NERVUS OPTIK
Orbital
Orbital berfungsi sebagai proteksi, penunjang, dan memaksimalkan fungsi dari mata. Orbital menyerupai piramid quadrilateral yang terdiri dari atap orbita, lantai, dinding medial, dan dinding lateral.  Terdapat tujuh tulang yang bergabung membentuk struktur orbital. Atap orbital dibentuk oleh prosesus orbital os frontal dan sayap kecil dari os sfenoid. Dinding lateral dari orbital dibentuk oleh lempeng orbital os maksila, sisi orbital os zigomatik, prosesus orbital os palatina. Dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila, os lakrimal, os sfenoid, dan lempeng tipis lamina papirasea os etmoid. Dinding lateral dibentuk oleh sayap tipis dan tebal dari os sfenoid dan os zigomatik.(15) Struktur orbita dilapisi oleh periostium dari tulang orbita. Hal ini terangkat saat operasi dan menyebabkan paparan dari tulang tersebut. Periostoum dijaga tetap intak, dan ahli bedah dapat bekerja dibagian anterior orbita tanpa melukai isi orbita.(15)

Gambar  Memperlihatkan ketujuh tulang yang membentuk orbital

Gambar  Memperlihatkan fisura Orbital superior, inferior kanan dan k anal optik (Sethi DS) (14)
 
   

Tiap orbital mempunyai enam otot ekstraokuler dan bersama-sama berfungsi menggerakkan bola mata. Empat muskulur rektus ( rektus superior, rektus inferior, rektus lateralis dan rektus medialis), dan dua muskulus obliq ( obliq superior dan obliq inferior). Muskulus rektur berasal dari annulus Zinn’s  berupa tendon fibrosa yang mengelilingi foramen optik.(15,16)
Nervus dan pembuluh darah besar yang mengarah ke orbital masuk melaui 3 pintu. Fisura orbital superior dibatasi oleh sayap tipis dan tebal os sfenoid. Fisura orbitalis superior berhubungan dengan struktur seperti: N. kranialis III,IV,dan VI, N. lakrimal, N. frontal, N, nasosiliar,cabang orbital arteri meningea media, cabang rekuren arteri lakrimal, vena orbital superior, vena optalmik superior. Fisura orbitalis inferior berhubungan dengan: N. infraorbital, N. Zigomatik, N. parasimpatis glandula lakrimal, arteri infraorbital, vena infraorbital, cabang vena optalmik membentuk fleksus pterigoid. Kanal optik berhubungan dengan: N. Optik, arteri optalmik, vena retina sentral.(14,15)

Gambar 15. A. gambar  menunjukkan struktur yang terdapat pada fisura superior, inferior dan  kanal optik.(Sethi DS) (14)
orbital kanan menunjukkan landmark superfisialis, kanal optik, fisura orbital superior dan inferior . dan prof setjhi

Gambar 15. A. gambar yang menunjukkan otot-otot ekstraokular berasal dari Anulus of Zinn’s
orbital kanan menunjukkan landmark superfisialis, kanal optik, fisura orbital superior dan inferior . dan prof setjhi
                   


Sistem lakrimal memghasilkan, mendistribusikan dan mengalirkan air mata. Glandula lakrimal terdiri atas dua lobus, lobus orbital dan lobus palpebra letaknya sebelah lateral aponeurosis levator. Glandula lakrimal letaknya supero-temporal dari orbital dan berada dalam fosa glandula lakrimal. Kantong lakrimal berada dalam fosa yang dikelilingi os lakrimal, prosesus frontalis os maksila, prosesus nasalis os frontal. Duktus lakrimal bermuara pada bagian anterior meatus inferior.(14,15)
Nervus optik
            Nervus optik memanjang dari kiasma optik memasuki orbital melalui kanalis optik. panjang nervus optik ± 5 cm ( 50 mm). Bagian intrakranial nervus optik panjangnya sekitar 1 cm (10 mm), segmen orbital  nervus optik panjangnya sekitar 3 cm (30 mm) dan bagian sfenoid sekitar 1 cm ( 10 mm) dengan diameter sekitar 4 mm. Nervus optik ditutupi duramater, araknoidmater, dan piamater mulai dari sklera sampai kanal optik, dimana duramater akan berlanjut menjadi periosteum orbital. Pada sisi samping bola mata arteri sentralis retina dan vena-venanya menembus nervus optik dan berjalan bersama menuju retina.(14,17) 
Gambar memperlihatkan nervus optic.(Sethi DS) (14)                
IV. INDIKASI
a. Dekompresi orbital
1.         Dysthiroid orbitopaty
Indikasi utama prosedur ini adalah penyakit mata tiroid (Graves ophthalmopathy, thyroid orbitopathy, and dysthyroid orbitopathy). Ditandai dengan proptosis, diplopia, keratitis, retraksi dan hilangnya penglihatan. Volume rata-rata orbital sekitar 26 ml, jika terjadi peningkatan 4 ml ( 16%) maka terjadi proptosis sekitar 4 mm. (baley, sethi) Penangan yang lain berupa steroid sistemik ( 80-120 mg predison selama 14 hari), Radioterapi (external beam therapy), dan obat imunosupresif.(4,14,18)

A  : Orbital pada grave’s  diseases
B : CT-scan : memperlihatkan penebalan  dan m. rektus medial dan lateral.
        (Baily BJ)(18)



 
Lesi apeks orbital (hemangioma kavernosum) (19)
Lesi pada apeks orbita seperti hemangioma kavernosa merupakan massa jinak pada orbital yang dapat menyebabkan proptosis unilateral. Orbit posterior terdapat struktur organ yang penting dengan antomi yang kompleks. Pendekatan endoskopik transfenoid ke daerah sella dan parasellar menjadi populer dengan hasil yang baik, morbiditas rendah dan kurang invasif.
        

MRI menunjukkan keterlibatan apeks orbital kiri dan letaknya sisi medial dari nervus optik. lesijuga menunjukkan keterlibatan fosa pterigoid, fosa medial dan sinus maksilaris dan sfenoid. (Locatelli M) (14)

 




2.         Drainase abses subperiostium orbital media.(20)
Abses subperostium medial merupakan komplikasi mata yang umum dan serius dari sinusitis pada anak. Patogenesis terjadinya abses subperioutium berupa penyebaran langsung proses inflamasi dari sinus etmoid melalui dehisen pada dinding medial orbital, melalui lamina papirasea dan saluran pembuluh darah. Secara anatomi abses terkumpul antara perioustium dan lamina papirasea. Klinis berupa proptosis yang progresif karena penekanan orbital ke sisi lateral dan anterior karena adanya pembengkakan yang melibatkan muskulus rektus medial ipsilateral dan atau pendorongan orbital karena pus.
CT- scan menunjukkan abses subperiostium kiri. (Sethi DS dan Bailey BJ)(14,21)
3.         Hematoma orbita akut.
Hematoma orbital dapat berupa komplikasi dari bedah sinus endoskopik berupa sindrom kompartemen orbital atau trauma tumpul yang dapat menyebabkan darah masuk ke belakang orbital.  peningkatan tekanan dapat menyebabkan pembengkakan kelopak mata dan proptosis sehingga menyebabkan kebutaan yang permanen juka tidak ditangani dengan segera.(21,22)
 
Gambar menunjukkan hematoma orbital pasca trauma tumpul, terjadi penurunan ketajaman penglihatan, motilitas terbatas dan proptosis. (Tiffany G)(22)
4.         Mukosel yang luas
Mukosil luas yang mengalami ekstensi ke orbital baik yang berasal dari sinus frontalis atau dari etmoid merupakan indikasi dekompresi orbital dengan teknik marsupialisasi. Gejala dan tanda mukosil dapat berupa sakit kepala dan proptosis terutama jika mukosil berasal dari sinus etmoid.(2)
   
 Gambar : pergeseran orbital kiri karena mukosel
 Gambar : CT- scan menunjukkan mukosel pada apeks orbital.
 (Siemmen)(2)
5.         Tumor orbital medial (2,22)
Tumor orbital dapat terjadi pada anak dan dewasa, pada umumnya bersifat jinak. pada anak tumor jinak yang paling umum seperti dermoid, hemangioma, limfangioma, sedangkan pada dewasa seperti hemangioma dan juga limfangioma.  Tumor ganas orbital pada anak berupa rabdomiosarkoma, neuroblastoma, ewing sarkoma dan leukemia yang bermetastase ke orbital, sedangkan pada dewasa berupa limfoma.

Tumor pada apeks orbital
(Sethi DS) (14)


b. Nervus Optik
 Indikasi dekompresi nervus optik. :
1.      Neuropati optik pasca trauma
Kerusakan nervus optik dapat secara langsung atau tidak langsung setelah trauma kranio-orbital. Penurunan ketajaman penglihatan dan menurunnya lapangan pandang serta penurunan fungsi pupil pada cedera nervus optik. Kerusakan nervus optik dapat secara langsung atau tidak langsung dapat berupa transeksi serabut saraf, terputusnya pembuluh darah, atau sekunder karena hematoma atau edema yang memerlukan penangan medis atau terapi bedah.(2,23,25)
Penangan cedera nervus optik tetap masih kontroversi, penentuan derajat beratnya cedera sangat sulit. Jika terdapat fraktur sfenoid, perdarahan retro-orbital,dekompresi orbital perlu penangan pembedahan dalam waktu kurang 1 jam. Pemberian steroid dosis tinggi sebagai terapi pertama pada neuropati optik pasca trauma. Metilpredisolon 30 mg/kgBB pemberian bolus secara intravena, kemudian diikuti dengan 5,4 mg/kgBB melalui infus dalm 23 jam.(23,24) Thomas Shooper). Metilpredisolon 30 mg/kgBB pemberian bolus secara intravena, kemudian 5,5 mg/kgBB dalam waktu 36-48 jam.(3)
   
Gambar CT-scan koronal kepala :
A. fraktur pada basis kranii  B. Fraktur pada kanalis optik. (Sethi DS) (14)

Selain akibat trauma, dekompresi  nervus optik  non trauma seperti mukosel, neuropati optik iskemia akibat penekanan terhadap pembuluh darah, meningioma nervus optik, dysplasia fibrosa. Pada penyakit grave’s terjadi sekitar 8,6 % dapat menyebabkan penekanan pada nervus optik yang dikenal sebagai neuopati optik endokrin.(8,25)

IV.2.  KONTRAINDIKASI
            Kontraindikasi dekompresi endoskopik orbital dan nervus optik sama dengan kontraindikasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya :(4)
1.      Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.
2.      Pasca operasi radikal dengan sinus yang mengecil
3.      Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostatisyang tidak terkontrol oleh dokter yang sesuai.
IV.3. Persiapan Pra-operasi
          Anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan nasoendoskopi, foto polos, computer tomography ( CT-scan) dan laboratorium harus dilakukan sehingga diagnosis dapat dapat ditegakkan setepat mungkin.(24)
Pemilihan Alat
Endoskop. Ada bermacam-macam, mulai dari 0̊, 30̊, 45̊, 70̊, 90̊, 120̊, dan lain-lain. Namun dengan 2 buah ukuran endoskop yaitu 4 mm 0̊ dan 4 mm 30̊ untuk dewasa dan 2,7 mm 0̊ dan 2,7 mm 30̊ untuk anak-anak, tindakan bedah endoskopik (dekompresi) sudah dapat dilakuakan.(24)
Instrumen operasi.
Cunam dan alat lainyang digunakan tidak boleh terlalu besar agar tidak melukai mukosa. Peralatan dasar yang harus dimiliki adalah : (24, 27)
1.      Spuit dan jarum panjang
2.      Pisau sabit panjang 18 cm
3.      Respatorium tajam,tumpul panjang 21,5 cm
4.      Cunam Blakesley lurus dan upturned thrugh cutting dan non cutting
5.      Suction lurus dan bengkok
6.      Kuret J
7.      Cunam jerapah
8.      Cunam backbiting
9.      Kait 90̊ panjang 18 cm
10.  Elevator panjang 20 cm
11.  Guide sheath 5 mm dengan stopcock untuk irigasi
12.  Diamond drill diameter 2,0 mm, 2,5 mm, 3,0 mm
          Untuk pasien dengan eksoptalmus persiapan praoperasi seperti : pemeriksaan fisik secara menyeluruh; pemeriksaan lengkap kepala dan leher; pemeriksaan laboratorium  ( T3 danT4 serum, Thyroid-stimulating immunoglobulin, Thyroid-stimulating hormone, Thyrotropin-releasing hormone, Long-acting thyroid-stimulating hormone, T3 suppression test); evaluasi radiologi ( ultrasonografi orbita, CT-Scan kepala , macnetic resonance imaging, CT-Scan tiroid); evaluasi optalmologi ( eksoptalmometer Hertel, optalmoskopi indirect, Visual-evoked potentials, ketajaman penglihatan, lapangan pandang, fungsi otot ekstarokuler, tekanan intraokuler, Schirmer test).(12)
          Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus media dan lainya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantipasi kesulitan dan kemungkinan timbulya komplikasi saat opersi.(4,28)
          CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasalis( potongan axial atau sagital ) diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit sinus  dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasalis dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus kedalam orbita dan intra kranial.(3,4,22, 28)
          Gambar CT csan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarka gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi.(12,29)
IV.4. Tahapan Operasi
IV.4.1 Anestesia dan Analgesi
            Dekompresi orbital dan nervus optik dapat dilakukan dibawah anestesi lokal setelah premedikasi / sedasi atau anestesi umum. Mukosa hidung harus dipersiapkan sebaik mungkin untuk mendapatkan efek vasokonstriksi dan analgesia. Pemilihan anestesi lokal atau anestesi umum tergantung pilihan pasien, pengalaman ahli bedah, status kesehatan dan umur dari pasien, tingkat kerumitan dan prosedur yang akan dilakukan.(16)
            Untuk pasien dengan teknik anestesi lokal, kapas aplikator  yang dibasahi dengan campuran 4-5 bagian pantokain 2% dengan  1 bagian adrenalain (1 : 1.000).  Kapas aplikator tersebut dimasukkan dibawah konka media atau dapat juga ditempatkan disekitar konka media diseluruh permukaan mukosa jika memungkinkan sampai mendekati foramen sfenopalatina. Untuk pasien dengan teknik anestesi umum cukup dengan menggunakan adrenalin ( 1 : 1.000), dan dibiarkan sekitar 10 menit kemudian dikeluarkan.(24) Anestesi infiltrasi lapangan operasi dengan larutan lidokain (xylocain) 1 % yang mengandung epinefrin 1 : 200.000 untuk menunjang efek vasokonstriktor dan mengeringkan lapangan operasi. (4,16)
            Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan teknik anastesi yang paling popular baik di Negara Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapangan operasi lebih jelas dan kemungkinan komplikasi terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula operator dapat bekerja lebih baik dan tenang.(30)
            Namun demikian hipotensi kendali ini memiliki resiko pada pasien misalnya geriatrik. Disamping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor dapat menimbulkan resiko iritabilitas jantung.(30)

IV.4.2 Teknik Operasi dekompresi orbital
            Tahap awal operasi dekompresi orbital dilakukan infundibulotomi ( uncinektomi), Insisi unsinatus dibuat tepat bagian posterior garis maksila yaitu penonjolan tulang yang memanjang dari perlengketan dianterior pada konka media sampai dasar dari konka inferior.

Insisi prosesus unsinatus pada bagian posterior garis maksila, mulai dari perlengketan anterior sampai ke dasar konka media.
(Metson RB) (16)
            Seluruh prosesus unsinatus diluksasi ke medial dengan menggunakan respa sehingga rongga infundibulum terbuka. Pengangkatan prosesus unsinatus umumnya menggunakan ball tip probe  dan back bitter atau microdebrider untuk memotong prosesus unsinatus. Jika CT scan preoperative menunjukkan prosesus unsinatus menepel pada lamina papirasea maka digunakan back bitter untuk menghindari kerusakan dari periorbita.(3)
            Setelah  perlengketan prosesus unsinatus terlepas kemudian dilakukan sinustomi maksilaris tipe III yakni memperluas ostium sinus maksilaris kearah dinding posterior antrum maksila dan bagian anterior kantong lakrimalis, kearah superior sampai setinggi dasar orbita, arah inferior sampai kedasar dari konka inferior. Dengan endoskop 30 derajat dugunakan untuk mengidentifikasi nervus infraorbital sepanjang atap sinus.(16)
 
Gambar A. Pelebaran ostium sinus maksila B (metson)(16). diagram area tulang dan mukosa yang dilepaskan pada maksila sinustomi tipe III (Siemmen D)(2)
            Setelah dilakukan sinustomi maksilaris tipe III, dilakukan sfenoetmoidektomi yakni perluasan etmoidektomi anterior dengan melibatkan etmoidektomi posterior dan sinus sphenoid. untuk mengidentifikasi arteri etmoidalis anterior dan posterior sepanjang atap etmoid. konka media yang berfungsi sebagai petanda selama sfenoetmoidektomi dikeluarkan sebelum membuka lamina papirasea untuk mengoptimalkan paparan terhadap dinding medial.(2,16,24,31)
            Lamina papirasea dengan lembut ditembus dengan  kuret kecil (spoon curette). Serpihan tulang lamina  diangkat kearah medial untuk menghindari perforasi periorbital dengan menggunakan elevator periosteal atau forcep Blakesley yang halus.(16)
 
Gambar A. lamina papirasea ditembus dengan menggunakan kuret sepanjang dinding medial orbital. B. fragmen tulang dikeluarkan dengan forcep pada dinding medial orbital untuk mengekspose periorbita ( Metson R)(16)
            Pelepasan tulang ( lamina papirasea) kearah superior setinggi atap etmoid, kearah inferior sampai kedasar orbita, kearah anterior sampai ke garis maksila. Tulang diatas resesus frontalis dibiarkan utuh untuk mencegah prolapsus lemak orbita dan akan menghalangi drainase sinus frontalis. Pelepasan lantai orbital secara teknik sulit. Dengan menggunakan kuret (spoon curette)untuk mematahkan kearah bawah tulang lantai orbita. Hanya bagian medial tulang lantai orbit dari nervus  infraorbital yang dikeluyarkan.(16,31)

Gambar fragmen lantai orbital dipatahkan kebawah dengan kuret, pelepasan tulang yang terletak pada bagian medial nervus infraorbital.(Metson R)(16)
            Setelah periorbita telah sepenuhnya terbuka dan dibersihkan dari fragmen tulang, kemudian periorbita dibuka dengan sabit pisau (sickle knife). Insisi dimulai di depan sinus sphenoid, kemudian Insisi periorbita diperpanjang sepanjang atap ethmoid dan dasar  orbital.(16,31)

Gambar Insisi lapisan fasia periorbital dengan pisau sabit ( sickle knife) dan dekeluarkan ( Retson R)(16)


\

            Selesainya dekompresi jika lemak orbital turun (prolapsus) ke sinus etmoid dan sinus maksilaris. Dekompresi orbital lateral dilakukan setelah proses ini, tergantung sejauh mana penyakit pasien dan tingkat dekompresi yang diinginkan.(16,31)

Gambar A. Herniasi lemak orbital ke sinus etmoid dan maksila sebagai tahap akhir dekompresi. B. Area tulang yang dilepaskan pada dekompresi orbital termasuk lamina papirasea dan dasar medial orbital sampai fisura infraorbital. (Metson R)(16)
IV.4.3 Teknik Operasi dekompresi nervus optik
            Setelah dilakukan dekongesti nasal dan injeksi vasokonstriktor, dilakukan sfenoetmoidektomi untuk mendapatkan akses ke kanal optik dan apeks orbita.(12)  Didalam sinus sfenoid, nervus optik dan tonjolan arteri karotis interna dapat di identifikasi, kemudian tuberkel optik divisualisasi. Setelah sinus sfenoid terbuka dan lamina papirasea tampak dengan jelas, kemudian lamina papirasea diangkat dari depan ke belakang sekitar 1 sentimeter bagian anterior sfenoid dengan menggunakan  kuret  dan forceps Blakesly  dan dilakukan diseksi antara sfenoid dan periorbita sampai ke tuberkel  optik.(24) Dengan menggunakan diamond grinder khusus, tulang diatas optik tuberkel  dan sepanjang kanal optik dilepaskan sampai kebagian yang mengalami kompresi, dan secara komplit dapat dilepaskan dengan menggunakan instrumen khusus (mikrokuret). Pada kasus fraktur  (umumnya secarah transversal) melalui kanal optik,  tulang dilapaskan 3-4 milimeter diluar area fraktur, dengan kondisi seperti ini nervus optik dan sarung nervus optik dapat dibuka kearah medial sampai 180 derajat.(24)
            Membuka  sarung nervus optik ( optikal nerve sheath) merupakan tindakan selanjutnya, tetapi hal ini masih diperdebatkan karena komplikasi berupa kebocoran cairan serebrospinalis dan melukai pembuluh darah yang mensuplai nervus optik.(8). Plecher dkk tidak menganjurkan membuka sarung nervus optik.  Jika tetap membuka sarung nervus optik (optikal nerve sheath) seharusnya berkonsultasi dengan ahli mata, dan dilakukan insisi bagian atas dari sarung nervus optik mulai dari belakang sampai bagian depan tepat bagian akhir korona Zinn ( Zinn’s corona ) dengan menggunakan pisau sabit ( sickle knife). Insisi pada sisi bawah dari sarung nervus optik harus dihindari, dengan tujuan menghindari resiko cedera arteri optalmikus, jika terjadi variasi letak dari arteri tersebut lebih ke arah medial. Jika sarung nervus optik tersebut terbelah, dengan segerah bekas insisi tersebut ditutup dengan lem fibrin (fibrin glue) untuk menghindari kebocoran cairan serebrospinalis. Disarankan tidak menggunakan jenis tanpon apapun pada operasi dekompresi nervus optik.(24)

   
a. Identifikasi nervus optik dan arteri karotis interna pada sinus sfenoid
b. Setelah visualisasi tuberkel optik, lamina papirasea diangkat dari depan ke belakang dan dilakukan diseksi periorbita
c . Dengan bur diamond, tulang diatas tuberkel optik dan sepanjang kanalis optik ditipiskan
d. Dengan mengunakan kuret, sisa teberkel optik dikeluarkan keseluruhan
e. Insisi sarung optik (optical sheath)   
Gambar skema tahapan dekompresi nervus optik ( Stammberger) (24)

V. Komplikasi
Komplikasi dekompresi orbital dan nervus iotik
            Diplopia. Penglihatan ganda (diplopia) disebabkan karena perlukaan otot mata, otot rektus medialis dan otot obliq superior yang melekat ke sinus. Otot rektus medialis terletak tepat sebelah lateral periorbita sekitar bagian tengah lamina papirasea. Otot obliq superior letaknya diatas orbital tepat sebelah lateral atap etmoid dan secarah anatomi sangat sulit dicapai melalui intranasal. Perlukaan dapat terjadi secarah langsung atau perlukaan pada nervus atau pembuluh darah yang mensuplai otot mata dan secarah tidak langsung sebagai hasil dari konduksi panas yang berasal dari kauter atau kaustik.(3)  Diplopia akibat  perubahan aksis dari bola mata jika tulang maksila pada bagian inferomedial dari orbita (antara dinding medial dan dasar orbita)  dikeluarkan berlebihan  meskipun ligamentum suspensori tidak cedera.(2)
            Perdarahan pasca operasi. Resiko hematoma orbital dengan retensi darah diruang retrobulbar yang dapat menyebabkan penetrasi ke periorbita.  Perdarahan retrobulbar merupakan merupakan komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, optalmoplegi dan proptosis. Perdarahan orbital umumnya disebabkan trauma  vena orbital yang menempel pada lamina papirasea.(2,30,31)
            Epipora karena perlukaan duktus nasolakrimalis. Komplikasi ini sangat jarang terjadi karena duktus nasolakrimalis berada disepanjang kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior.(29)
            Kebocoran serebrospinalis. Kebocoran cairan serebrospinalis selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang. Insidens komplikasi ini dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya. Kebocoran cairan serebrospinal pada saat melakukan etmoidektomi karena duramater dapat tertembus mulai dari etmoidalis anterior sampai sfenoidalis. Kebocoran cairan serebrospinalis juga terjadi pada saat kita melakukan insisi sarung nervus optik yang terletak dalam kanal nervus optik, hal ini karena sarung nervus optik akan berlanjut menjadi duramater pada daeran tersebut.(2,24)  Jika tetap akan melakukan insisi pada sarung nervus optik dengan segera menutup bekas insisi dengan fibrin glue (lem fibrin) untuk menghindari kebocoran cairan serebrospinalis.  Membran Jaringan hidup (matrial endogenik) :  fasia temporalis, mukosa septum dan konka, fasia lata, kartilago aurikula dan  matarial eksogenik : freeze-dried dura, garotex patch  dapat digunakan untuk menutup kebocoran cairan serebrospinalais.(12,24)
            Kerusakan nervus optikus. Hal ini terjadi pada saat melakukan sfenoetmoidektomi, nervus optik mengalami cedera secara langsung karena letak nervus optik terdapat dalam sinus sfenoid.(25)  Nervus optik mengalami kerusakan oleh panas yang dihasilkan oleh bor (diamond burr) yang dihantarkan ke nervus optik pada saat mengurangi ketebalan tulang sfenoid  yang membentuk atap orbita dengan menggunakan bur. Hal ini bisa dihindari dengan irigasi saat melakukan bur pada tulang tersebut.(2)
            Empisema periorbita dan selulitis periorbita. Celah yang terbentuk pada saat lamina papirasea di insisi merupakan tempat masuknya udara kedalam jaringan lunak sekitar mata. Masuknya udara  tersebut karena peningkatan tekanan intranasal pada saat meniup lewat hidung dalam empat hari pertama atau pada saat bersin. Empisema periorbita juga terjadi pada saat ekstubasi anestesi dengan memberikan ventilasi dengan sungkup. Untuk menghindari komplikasi tersebut terjadi disarankan ke pasien tidak meniup lewat hidung atau bersin dalam empat hari pertama operasi dan pada saat ekstubasi jangan memberikan ventilasi yang terlalu kuat.  Selulitis periorbita merapakan komplikasi yang potensial ditandai dengan nyeri yang progresif dan pembengkakan sekitar mata, untuk menghindari komplikasi ini diberikan antibiotik propilaksis.(2)
Toxic shock syndrome (TSS). Untuk mendapatkan dekompresi yang optimal diharapkan menghindari pemakaian tampon hidung pasca operasi.(manual ESS) Pemakaian tampon hidung pasca operasi dapat menyebabkan toxic shock syndome yang dihasilkan oleh starin stafilokokus aureus. Bila harus mengggunakan tampon setelah operasi, direkomendasikan untuk memberikan bacitrasin salep yang merupakan agen efektif melawan stafilokokus aureus.(30)
VI. KESIMPULAN
            Dekompresi orbital endoskopik memberikan lapangan operasi yang luas untuk mengangkat tulang orbital dengan aman, khusunya melalui atap etmoid dan apeks orbital. Dibandingkan dengan dekompresi transantal, pendekatan dengan endoskopik dapat menghindari hipoestesia nervus infraorbital pasca operasi , perdarahan kurang dan perawatan rumah sakit menjadi lebih singkat.
            Dekompresi endonasal orbital endoskopik merupakan prosedur untuk memperbaiki penglihatan, mengurangi proptosis dan tekanan intraokuler dan secara kosmetik lebih baik pada sebagaian pasien. Setelah dekompresi diplopia dan strabismus berhasil dilakukan dengan operasi otot mata atau dengan menggunakan prisma.
            Dekompresi orbital endoskopik harus dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman dengan teknik intranasal endoskopik. Operasi dekompresi tidak terpisahkan dengan isi orbital termasuk otot ekstraokuler, sakus lakrimalis dan nervus optik.

  
DAFTAR PUSTAKA
1.                  Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo Operasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsinal. Makassar. 2000. p. 26-40
2.                  Siemmen D, Jones N. Orbital Decompression and Optic Nerve Decompression In : Manual of Endoscopic Sinus Surgery. Thiema Stuttgart. 2002. p. 221-227
3.                  Holt GR, Holt JE, Otto RA. Surgery for Exophthalmos. In: Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolarhingology. 4th Edition. Volume 1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 200. p.2453-65
4.                  Yuen APW, Kwan KYW, Chan E, Kung AWC, Lam KCL. Endoscopic transnasal orbital decompression for thyrotoxic orbitopathy. http://www.hkmj.org/article_pdfs/hkm0212p406.pdf
5.                  Stiglmayer N, Mladina R, Tomic M, Tojagic M, Juri J, Buba N, Meazovac V. Endonasal Endoscopic Orbital Decompression in Patients with Graves’ Ophthalmopathy. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15185426
6.                  Prabhakaran VC, Hsuan J, Selva D. Endoscopic-Assisted Removal of Orbital Roof Lesions Via a Skin Crease Approach. Available at  http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2095120/
7.                  Metson R, Dallow RL, Shore JW. Endoscopic orbital decompression. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8052080
8.                  Pletcher SD, Metson R. Endoscopic Optic Nerve Decompression
for Nontraumatic Optic Neuropathy. Available at http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/133/8/780.pdf
9.                  O’Brien EK, Leopold D, Giganteli JW, Siegel M. Optic Nerve Decompression for Traumatic Optic Neuropathy. Available at http://emedicine.medscape.com
10.              Nizar N, Wardani RS. Anatomi Endoskopik Hidung dan Sinus Paranasalis dan Patofisiologi Sinusitis. Dalam : Kumpulan Makalah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Bagian Ilmu Penyakit THT-KL. FK-UNHAS. Makassar. 2000.
11.              Kamel R. A Step by Step Guide in Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall, Ostiomeatal Complex and Anterior Skull Base.Schramberg. Germany. 2002
12.              Walsh WE, Kern RC. Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In: Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolarhingology. 4th Edition. Volume 1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2001. p.307-18
13.              Sareen D, Agarwal AK, Kaul JM, Sethi S. Study of Sphenoid Sinus Anatomy in Relation to Endoscopic Surgery. Available at  http://www.cielo.cl/art12.pdf
14.              Sethi DS. Endoscopic Surgery of the Orbit. Dalam : Pra kongres nasional, pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Bagian Ilmu Penyakit THT-KL. FK-UNHAS. Makassar. 2000.
15.              Petruzzelli GJ, Hampson CM. Orbit Anatomy. Available at http://emedicine.medscape.com/article.
16.              Metson RB, Cosrnza M. Endoscopic Orbital Decompression. In : Sinus Surgery Endoscopic and Microscopic Approaches. Thiema Stuttgart. 2005. p. 306-311
17.              Gray H. The Optic Nerve. Available at http://www.bartleby.com
18.              Holt GR, Holt JE, Otto RA. Surgery for Exophthalmos. In: Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolarhingology. 4th Edition. Volume 1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. p. 2454-65
20.              Kessler A, Berenholz L P, Segel S. Transnasal endoscopic drainage of a medial subperiosteal orbital abscess. Available at http://faculty.ksu.edu.sa/drhagr/Research/Orbit%20and%20Sinusitis/Transnasal%20endoscopic%20drainage.pdf
21.              Stankiewicz JA. Complications of Sinus Surgery. In: Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolarhingology. 4th Edition. Volume 1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. P. 478-490
22.           Tiffany G, Bryan G. Minimally Invasive microsurgery of the Skull Base. Available at http://www.skullbaseinstitute.com/head-and-neck-tumors/rhabdomyosarcoma-rms-sarcoma.html
23.           Spoor TC. Tramatic optic neuropathies. Available at : http://medtextfree.wordpress.com/2011/02/10/chapter-194-traumatic-optic-neuropathies/
24.              Stammberger H. FESS-Endoscopic Diagnosis and Surgery of the Paranasalis Sinuses and Anterior Skull Base. In : The Messerkliner Technique and Advanced Applications from the Graz School. Austria. 2006
25.              Gormley PD, Boeyer J, Jones NS, Downes RN.  The Sphenoidal Sinus in Optic Nerve Decompression.  Available at  http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9474325
26.              Mangunkusumo E. Persiapan Operasi MSEF. Dalam kumpulan Makalah lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Bagian Ilmu Penyakit THT KL, UNHAS 2000
27.              Brent AS. Endoscopic approach to benign tumour of the paranasal sinuses. New York. Thiema. 2000. p. 297-308
28.              Stultz TW, Modic MT. Imaging of the Paranasal Sinuses. In: Levine HL, Clemente MP, Sinus Surgery Endoscopic and Microscopic Approaches . Thiema. New York. 2005. p.65- 89
29.              Buku Panduan Diseksi Kadaver. Bandung ORL-HNS Week Endoscopic Sinus Surgery Wokshop. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Unuversitas padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung/Perhati-KL Cabang Jawa Barat. 2009
30.              Schaefer  SD et al. Endoscopic and Transconjunctival Orbital Decompression for Thyroid-Related Orbital Apex Compression. Available at http://www.nyee.edu/ent_rss_sts_orbitaldecompress01.html
31.              Balasubramanian T. Endoscopic Surgery of orbit. Available at  http://www.drtbalu.co.in/orbital_comp.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar