DEKOMPRESI ENDOSKOPIK ORBITAL
DAN NERVUS OPTIK
I.
PENDAHULUAN
Bedah sinus endoskopik yang
biasanya dilakukan endonasal mempunyai indikasi atau
manfaat utama yaitu untuk penanganan sinusitis paranasal kronik atau sinusitis
paranasal berulang yang kurang atau tidak memberi respon atau hasil yang baik
dengan pemberian antibiotik. Disamping indikasi atau manfaat utama tersebut
bedah endoskopik mempunyai manfaat lain seperti operasi orbital meliputi dekompresi orbita, biopsi intraorbital, dekompresi apeks orbita, nervus optikus, dan
operasi dacriocystitis (DCR).(1)
Dekompresi orbital merupakan suatu
cara memisahkan sebagian atau seluruhnya satu atau lebih dari empat dinding
tulang yang orbita (rongga mata) yang mengkompresi orbital. Hasil dekompresi
yang maksimal diperoleh dengan melepaskan dinding medial, dasar orbita dan
dinding lateral orbita.(2)
Dekompresi orbital dapat dilakukan
secara eksternal dan juga interal dengan bantuan endoskopi. Pada tahun 1911,
Dollinger yang pertama mempublikasikan dekompresi orbital dengan pada dinding
lateral orbita, Naffziger pada dinding superior, Hisch dan Urbek pada dinding
inferior, Seweel pada dinding medial, dan Walsh dan Ogura pada tahun 1947
dengan pendekatan dari medial dan inferior.(3)
Dekompresi orbital
dan nervus optik secara endoskopik merupakan pendekatan secarah internal. Pada
tahun 1990, Kennedy dkk. memperkenalkan dekompresi orbital endoskopi medial
sebagai pilihan dengan minimal invasif. Teknik ini mengurangi sayatan kulit dan
ginggiva, menghilangkan trauma saraf, dan mengindari ketidaknyamanan yang
berhubungan dengan pemasangan tampon pada pasien dengan operasi caldwell-luc.(3) Dekompresi nervus
optikus merupakan kelanjutan dari dekompresi orbital ketika nervus optikus pada
dinding lateral sfenoid terkompresi.(2)
II.
INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Penelitian
yang dilakukan yuen dkk dengan teknik dekompresi endoskopik transnasal pada
orbitopati tirotoksik, dari 23 pasien dengan tindakan dekompresi orbital tidak
didapatkan komplikasi akibat pembedahan. Pengurangan proptosis pada 22(96%)
mata, dengan rata-rata penurunan 4,6 milimeter. Tekanan intraokuler setelah
operasi menurun dengan teknik operasi dekompresi pada 20(87%) mata dengan
rata-rata penurunan 11 milimeter. 11(73%) dari 15 mata yang tidak menutup dengan
sempurna mengalami perbaikan dengan penutupan yang sempurna setelah dekompresi.
4(27%) mata dengan penutupan yang tidak sempurna didapatkan perbaikan dengan
menyisahkan jarak. 16(70%) dari pasien tersebut mengalami peningkatan ketajaman
penglihatan rata-rata 3 pada garis snellen.(4)
Penelitian
juga dilakukan Neda dkk dengan dekompresi endonasal endoskopik orbital pada
pasien-pasien optalmopati grave’s dengan hasil perbaikan ketajaman penglihatan
sebelum opersi 0,8 ± 0,28 mengalami perbaikan setelah operasi 0,92± 0,21( p =
0,003 t test). Retraksi kelopak mata
atas dan kelopak mata bawa membaik setelah operasi (p<0,001). Penurunan
rata-rata proptosis pada semua mata 4,6± 1,7milimeter. Penurunan tekanan
intraokuler rata-rata 3,4 ± 3,0 mmHg ( p<0,001).(5)
Penelitian
yang dilakukan vankatesh dkk dengan operasi lesi atap orbita dengan bantuan
endoskopi menunjukkan 6 pasien dengan lesi yang melibatkan atap orbita dengan operasi kuret bantuan
endoskopi . Terdapat masing-masing
2 kasus dengan gambaran granuloma kolesterol, histiositis sel-sel
langerhan’s dan dermoid orbital. Lesi tersebut berhasil dikeluarkan pada
seluruh kasus dengan hasil yang baik.(6)
Kennedy
dkk menunjukkan 9 dari 16 orbital (56%)
perbaikan penglihatan dan 1 dari 16 orbital (6%) menunjukkan penurunan
penglihatan setelah dekompresi orbital. Metson dkk melaporkan perbaikan
ketajaman penglihatan 4 dari 22 orbital
(18%) dan tidak terdapat pasien yang menunjukkan penurunan ketajaman
penglihatan.(7)
Luxenberger
dkk menguraikan 7 kasus dekompresi nervus optik yang tidak disebabkan trauma,
empat dari pasien tersebut menderita optalmopati penyakit grave’s. literatur
menunjukkan pada umumnya pasien dengan neuropati akibaat penyakit graves dengan
dekompresi apeks orbital tanpa disertai dekompresi kanal optik memberikan hasil
yang baik. Tiga pasien yang lain dengan dekompresi untuk hemagioma apek
orbital, neuropati retrobulber dengan penyabab yang tidak jelas, dan komplikasi
sinusitis ke orbital akibatnya terhadap penglihatan harus dipertimbangkan
secara mendalam.(8)
Pada
tahun 1996, Cook dkk melakukan
meta-analisis retrospektif kasus yang dipublikasikan pada optik neuropati traumatic dan mendapatkan perbaikan penglihatan
yang bermakna dibandingkan dengan tanpa pengobatan tetapi tidak mendapatkan
perbedaan perbaikan penglihatan yang bermakna diantara pasien yang diterapi
dengan steroid, operasi dekompresi atau kombinasi steroid dan dekompresi.
Berbeda dengan randomisasi yang dilakukan Kountakise dkk. menunjukkan bahwa pasien dengan opersi dekompresi diikuti dengan
terapi steroid dengan dosis besar lebih baik dan bermakna siknifikan
dibandingkan dengan terapi tunggal dosis besar steroid.(9)
III.1 ANATOMI
ENDOSKOPIK HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS
Untuk
memberikan panduan dalam rangka melakukan diseksi endoskopik hidung dan sinus
paransalis maka operator harus mengetahui struktur anatomi dinding lateral
rongga hidung yang membentuk Kompleks Ostio Meatal (KOM) dan sinus paranasalis.(10,11)
KOMPLEKS
OSTIO MEATAL
Kompleks ostio meatal ( KOM) adalah
unit drainase fungsional yang terdiri atas : prosesus unsinatus, infundibulum
etmoid, sel ager nasi, resesus frontalis dan bula etmoid.(10,11)
a.
Prosesus unsinatus
Prosesus unsinatus berbentuk boomerang memanjang dari anterosuperior
ke postero-inferior sepanjang dinding lateral hidung. Melekat di anterosuperior
pada pinggir tulang lakrimal dan di postero-inferior pada ujung superior konka
inferior. Prosesus unsinatus membentuk
dinding medial infundibulum, sedangkan sisi posterior merupakan sisi bebas. Di
Superior melekat pada lamina papirasea, sinus etmoid atau konka media.
b.
Bula etmoid
Terletak di posterior prosesus unsinatus
dan merupakan sel etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Permukaan
anterior bula etmoid dan tepi bebas bagian posterior prosesus unsinatus membentuk
hiatus semilunaris yang merupakan outlet
infundibulum.
c.
Infundibulum etmoid
Berbentuk seperti terowongan dengan dinding
antero-medial dibatasi oleh prosesus unsinatus, postero-superior dibatasi oleh
bula etmoid, dan pada postero-inferior terdapat ostium naturalis sinus
maksilaris sedang proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi
membentuk hiatus semiunaris anterior. Infundibulum dapat dilihat dengan jelas
dengan mengangkat prosesus unsinatus.
d.
Resesus frontal
Batas anterior resesus frontal merupakan
dinding depan sel anger nasi dan meluas kebelakang dan berbatasan dengan arteri
etmoid anterior atau perlekatan bula pada dasar otak. Bagian lateral berbatasan
dengan lamina papirasea dan medial berbatasan dengan konka media. Perlengkatan
bagian superior prosesus unsinatus menentukan pola drainase sinus frontal.
e.
Sel Ager Nasi
Sel ager nasi membentuk batas anterior
resesus frontalis. Sel ini berada tepat
pada potongan koronal yang sama dengan duktus nasilakrimalis.
Anatomi endoskopik Kompleks ostiomeatal
(Kamel R)(11)
Sinus Maksilaris
Disebut
juga antrum high more merupakan sinus
yang terbesar ukurannya ± 15 cc pada orang dewasa dan terletak seluruhnya dalam
tulang maksila. Dinding depan sedikit cekung dan tipis yang kenal sebagai fossa kanina. Dinding
atas atau atap dari sinus maksilaris merupakan dasar dari orbita dan sekaligus
sebagai penopang orbita dan merupakan tulang yang tebal. Pada
saat operasi tulang tersebut keleuarkan karena dapat merubah aksis dari orbita
sehingga terjadi diplopia.(2,12)
Dibagian
atas tengah dari dinding depan kurang lebih 7-8 mm garis infra orbital terdapat
foramen/kanalis infra orbital dimana berjalan nervus
infra orbitalis yang bercabang menjadi nervus dentalis anterior
dan superior.(12)
Dinding medial atau naso antral, dibagi dalam dua segmen, yakni segmen depen
bawah setinggi meatus nasi inferior dan segmen belakang atas setinggi meatus
nasi media, dimana bermuara ostium sinus maksilaris. Dasar sinus maksilaris, dibentuk oleh prosesus
alveolaris dan palatum durum.(10,11,12)
Identifikasi endoskopik ostium
naturalis sinus maksilaris terletak pada bagian posterior infundibulum, dan
biasanya tertutup oleh prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan
posterior ostium adalah dinding membranosa yang disebut fontanel, terletak di
inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat dtembus dengan relatif aman pada
daerah sedikit di atas konka inferior dan di dekat fontal posterior.(10,11)
Ostium asesori sinus maksilaris ditemukan sekitar
15% - 40% subjek, biasanya terletak bagian superior dan posterior dari prosesus
unsinatus di atas perlekatan konka inferior.(12)
Sinus
Etmoid
Sinus
etmoid dibagi menjadi etmoid anterior dan posterior oleh lamina basalis. Konka
media bagian depan melekat pada dasar otak, kemudian perlekatan ini berjalan ke
posterior dan membelok ke lateral untuk melekat di lamina papirasea dan
membentuk lamina basalis. Diseksi pada daerah ini harus hati-hati karena daerah
ini terdapat arteri etmoid anterior di atap sinus etmoid dan membentuk batas
posterior resesus frontal serta sel onodi yang merupakan sel etmoid posterior
yang berpneumatisasi ke posterolateral atau posterosuperior terhadap dinding
depan sfenoid serta melingkari nervus optikus yang kadang-kadang dianggap
sebagai sinus sfenoid.( 10,11)
Sinus Frontal
Sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid yang paling anterior dan superior dan
merupakan sel etmoid anterior yang berpneumatisasi di tulang frontal. Dasar
sinus frontal menyempit ke arah bawah menyerupai terowongan menuju ostium sinus
frontal, kemudian melebar kembali menuju resesus frontal.(10-11)
Resesus frontalis sebagai serambi depan
sinus frontal merupakan organ yang penting, karena drenase dan ventilasi sinus
frontal sangat tergantung padanya. Disebelah superior resesus frontalis adalah
dasar otak dan arteri etmoid anterior, batas lateralnya adalah lamina
papirasea, batas medialnya adalah konka media, batas anteriornya adalah sel-sel
ager nasi dan batas posteriornya adalah bula etmoid.(1)
Sinus Sfenoid
Sinus
sfenoid dipisahkan oleh septum inter-sfenoid. Kadang ditemukan lebih dari satu
septum , tetapi yang terpenting
adalah letak perlengketan ujung septum inter-sfenoid di dasar otak karena
mungkin melekat di kanal arteri karotis dan nervus optik. Pada penyelidikan
Sethi dkk. terhadap 30 spesimen Asia, ternyata septum inter-sfenoid yang
berakhir pada kanal arteri karotis interna didapati pada 40% dan pada kanalis
optik pada 7% spesimen..(1)
Dinding
lateral sinus sfenoid merupakan struktur yang penting karena adanya arteri
karotis interna dan nervus optik. Renn dkk melaporkan penonjolan arteri karotis
interna kedalam sinus pada 71% kasus dan dehinsen sekitar 4%. Sethi dkk mengidentifikasi
penonjolan arteri karotis interna pada 93% dan Elwany dkk mengidentifikas
terjadinya dehisen pada 4,8% kasus pada populasi indian.(13,14)
Pada penelitian Sareen dkk. terhadap suku Indian, mereka tidak menemukan tonjolan nervus optik kedalam
sinus. Kesan saraf optik tidak
ditemukan. Sethi dkk . melihat tonjolan saraf optik bilateral di semua spesimen mereka kedalam sinus . Elwany dkk. menemukan tonjolan pada 29% specimen. Ini mungkin
menunjukkan variasi ras dalam hal hubungan saraf optik ke sinus sfenoid.(13,14)
Sinus
sfenoid bebrnetuk seperti tonjolan yang terletak dilateral septum nasi, pada
sudut 30o dari dasar hidung dan 5-7 cm dari spina nasalis anterior.
Jika sinus sfenoid dibuka dan bagian anterior diangkat maka tampak tonjolan
sela tursika yang disebut tuberkulum sela (terletak pada pertemuan antara atap
sfenoid yang datar dengan dinding posterior sfenoid), kanalis optikus (
terletak di dinding lateral sfenoid pada bagian antero-superior) dan indentasi
arteri karotis (terletak pada dinding lateral di bagian poster-oinferior)..(10,11)
Gambar Anatomi endoskopik Sinus paranasalis (Kamel R)(11)
III.2.
ANATOMI ORBITAL DAN NERVUS OPTIK
Orbital
Orbital berfungsi sebagai proteksi, penunjang, dan
memaksimalkan fungsi dari mata. Orbital menyerupai piramid quadrilateral yang
terdiri dari atap orbita, lantai, dinding medial, dan dinding lateral. Terdapat tujuh tulang yang bergabung
membentuk struktur orbital. Atap orbital dibentuk oleh prosesus orbital os
frontal dan sayap kecil dari os sfenoid. Dinding lateral dari orbital dibentuk
oleh lempeng orbital os maksila, sisi orbital os zigomatik, prosesus orbital os
palatina. Dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila, os
lakrimal, os sfenoid, dan lempeng tipis lamina papirasea os etmoid. Dinding
lateral dibentuk oleh sayap tipis dan tebal dari os sfenoid dan os zigomatik.(15) Struktur orbita
dilapisi oleh periostium dari tulang orbita. Hal ini terangkat saat operasi dan
menyebabkan paparan dari tulang tersebut. Periostoum dijaga tetap intak, dan
ahli bedah dapat bekerja dibagian anterior orbita tanpa melukai isi orbita.(15)
Gambar Memperlihatkan ketujuh tulang yang membentuk
orbital
|
Gambar Memperlihatkan fisura Orbital superior,
inferior kanan dan k anal optik (Sethi DS) (14)
|
Tiap orbital mempunyai enam otot ekstraokuler dan
bersama-sama berfungsi menggerakkan bola mata. Empat muskulur rektus ( rektus superior,
rektus inferior, rektus lateralis dan rektus medialis), dan dua muskulus obliq
( obliq superior dan obliq inferior). Muskulus rektur berasal dari annulus
Zinn’s berupa tendon fibrosa yang
mengelilingi foramen optik.(15,16)
Nervus dan pembuluh darah besar yang mengarah ke orbital
masuk melaui 3 pintu. Fisura orbital superior dibatasi oleh sayap tipis dan
tebal os sfenoid. Fisura orbitalis superior berhubungan dengan struktur seperti: N. kranialis
III,IV,dan VI, N. lakrimal, N. frontal, N, nasosiliar,cabang orbital arteri
meningea media, cabang rekuren arteri lakrimal, vena orbital superior, vena
optalmik superior. Fisura orbitalis inferior berhubungan dengan: N. infraorbital,
N. Zigomatik, N. parasimpatis glandula lakrimal, arteri infraorbital, vena
infraorbital, cabang vena optalmik membentuk fleksus pterigoid. Kanal optik
berhubungan dengan: N. Optik, arteri optalmik, vena retina sentral.(14,15)
Gambar 15. A. gambar
menunjukkan struktur yang terdapat pada fisura superior, inferior
dan kanal optik.(Sethi DS) (14)
orbital kanan menunjukkan landmark superfisialis, kanal optik,
fisura orbital superior dan inferior . dan prof
setjhi
|
Gambar 15. A. gambar yang menunjukkan otot-otot ekstraokular
berasal dari Anulus of Zinn’s
orbital kanan menunjukkan landmark superfisialis, kanal optik,
fisura orbital superior dan inferior . dan prof
setjhi
|
Sistem lakrimal memghasilkan, mendistribusikan dan
mengalirkan air mata. Glandula lakrimal terdiri atas dua lobus, lobus orbital
dan lobus palpebra letaknya sebelah lateral aponeurosis levator. Glandula
lakrimal letaknya supero-temporal dari orbital dan berada dalam fosa glandula
lakrimal. Kantong lakrimal berada dalam fosa yang dikelilingi os lakrimal, prosesus
frontalis os maksila, prosesus nasalis os frontal. Duktus lakrimal bermuara
pada bagian anterior meatus inferior.(14,15)
Nervus optik
Nervus optik memanjang dari kiasma optik
memasuki orbital melalui kanalis optik. panjang nervus optik ± 5 cm ( 50 mm). Bagian
intrakranial nervus optik panjangnya sekitar 1 cm (10 mm), segmen orbital nervus optik panjangnya sekitar 3 cm (30 mm)
dan bagian sfenoid sekitar 1 cm ( 10 mm) dengan diameter sekitar 4 mm. Nervus optik
ditutupi duramater, araknoidmater, dan piamater mulai dari sklera sampai kanal optik,
dimana duramater akan berlanjut menjadi periosteum orbital. Pada sisi samping
bola mata arteri sentralis retina dan vena-venanya menembus nervus optik dan
berjalan bersama menuju retina.(14,17)
Gambar memperlihatkan nervus optic.(Sethi DS) (14)
IV.
INDIKASI
a.
Dekompresi
orbital
1.
Dysthiroid orbitopaty
Indikasi
utama prosedur ini adalah penyakit mata tiroid (Graves
ophthalmopathy, thyroid orbitopathy, and dysthyroid orbitopathy). Ditandai
dengan proptosis, diplopia, keratitis, retraksi dan hilangnya penglihatan.
Volume rata-rata orbital sekitar 26 ml, jika terjadi peningkatan 4 ml ( 16%)
maka terjadi proptosis sekitar 4 mm. (baley, sethi) Penangan yang lain berupa
steroid sistemik ( 80-120 mg predison selama 14 hari), Radioterapi (external beam therapy), dan obat
imunosupresif.(4,14,18)
A : Orbital pada grave’s diseases
B
: CT-scan : memperlihatkan penebalan dan m. rektus medial dan lateral.
(Baily BJ)(18)
|
Lesi apeks orbital (hemangioma
kavernosum) (19)
Lesi pada apeks orbita seperti hemangioma
kavernosa merupakan massa jinak pada orbital yang dapat menyebabkan proptosis
unilateral. Orbit posterior terdapat struktur organ yang penting dengan antomi
yang kompleks. Pendekatan endoskopik transfenoid ke daerah sella dan parasellar
menjadi populer dengan hasil yang baik, morbiditas rendah dan kurang invasif.
MRI menunjukkan keterlibatan apeks
orbital kiri dan letaknya sisi medial dari nervus optik. lesijuga
menunjukkan keterlibatan fosa pterigoid, fosa medial dan sinus maksilaris
dan sfenoid. (Locatelli M) (14)
|
2.
Drainase abses subperiostium orbital
media.(20)
Abses subperostium medial merupakan
komplikasi mata yang umum dan serius dari sinusitis pada anak. Patogenesis
terjadinya abses subperioutium berupa penyebaran langsung proses inflamasi dari
sinus etmoid melalui dehisen pada dinding medial orbital, melalui lamina
papirasea dan saluran pembuluh darah. Secara anatomi abses terkumpul antara
perioustium dan lamina papirasea. Klinis berupa proptosis yang progresif karena
penekanan orbital ke sisi lateral dan anterior karena adanya pembengkakan yang
melibatkan muskulus rektus medial ipsilateral dan atau pendorongan orbital
karena pus.
CT- scan menunjukkan abses subperiostium
kiri. (Sethi DS dan Bailey BJ)(14,21)
3.
Hematoma
orbita akut.
Hematoma orbital dapat berupa komplikasi
dari bedah sinus endoskopik berupa sindrom kompartemen orbital atau trauma
tumpul yang dapat menyebabkan darah masuk ke belakang orbital. peningkatan tekanan dapat menyebabkan
pembengkakan kelopak mata dan proptosis sehingga menyebabkan kebutaan yang
permanen juka tidak ditangani dengan segera.(21,22)
Gambar
menunjukkan hematoma orbital pasca trauma tumpul, terjadi penurunan ketajaman
penglihatan, motilitas terbatas dan proptosis. (Tiffany G)(22)
Mukosel
yang luas
Mukosil luas yang mengalami ekstensi ke orbital baik yang berasal
dari sinus frontalis atau dari etmoid merupakan indikasi dekompresi orbital dengan teknik
marsupialisasi. Gejala dan tanda mukosil dapat berupa sakit kepala dan
proptosis terutama jika mukosil berasal dari sinus etmoid.(2)
Gambar : pergeseran orbital kiri karena mukosel
Gambar : CT- scan menunjukkan mukosel pada
apeks orbital.
(Siemmen)(2)
5.
Tumor
orbital medial (2,22)
Tumor orbital dapat terjadi pada
anak dan dewasa, pada umumnya bersifat jinak. pada anak tumor jinak yang paling
umum seperti dermoid, hemangioma, limfangioma, sedangkan pada dewasa seperti
hemangioma dan juga limfangioma. Tumor
ganas orbital pada anak berupa rabdomiosarkoma, neuroblastoma, ewing sarkoma
dan leukemia yang bermetastase ke orbital, sedangkan pada
dewasa berupa limfoma.
Tumor pada apeks orbital
(Sethi DS) (14)
|
b. Nervus Optik
Indikasi
dekompresi nervus optik. :
1. Neuropati optik pasca trauma
Kerusakan
nervus optik dapat secara langsung atau tidak langsung setelah trauma
kranio-orbital. Penurunan ketajaman penglihatan dan menurunnya lapangan pandang
serta penurunan fungsi pupil pada cedera nervus optik. Kerusakan nervus optik
dapat secara langsung atau tidak langsung dapat berupa transeksi serabut saraf,
terputusnya pembuluh darah, atau sekunder karena hematoma atau edema yang
memerlukan penangan medis atau terapi bedah.(2,23,25)
Penangan
cedera nervus optik tetap masih kontroversi, penentuan derajat beratnya cedera
sangat sulit. Jika terdapat fraktur sfenoid, perdarahan
retro-orbital,dekompresi orbital perlu penangan pembedahan dalam waktu kurang 1
jam. Pemberian steroid dosis tinggi sebagai terapi pertama pada neuropati optik
pasca trauma. Metilpredisolon 30 mg/kgBB pemberian bolus secara intravena,
kemudian diikuti dengan 5,4 mg/kgBB melalui infus dalm 23 jam.(23,24) Thomas Shooper).
Metilpredisolon 30 mg/kgBB pemberian bolus secara intravena, kemudian 5,5
mg/kgBB dalam waktu 36-48 jam.(3)
Gambar CT-scan koronal kepala :
A. fraktur pada basis kranii B. Fraktur pada kanalis optik. (Sethi DS) (14)
Selain akibat trauma, dekompresi nervus optik
non trauma seperti mukosel, neuropati optik iskemia akibat penekanan
terhadap pembuluh darah, meningioma nervus optik, dysplasia fibrosa. Pada
penyakit grave’s terjadi sekitar 8,6 % dapat menyebabkan penekanan pada nervus
optik yang dikenal sebagai neuopati optik endokrin.(8,25)
IV.2. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi dekompresi endoskopik
orbital dan nervus optik sama dengan
kontraindikasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya :(4)
1. Osteitis atau osteomielitis tulang
frontal yang disertai pembentukan sekuester.
2. Pasca operasi radikal dengan sinus yang
mengecil
3. Penderita yang disertai hipertensi
maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostatisyang tidak terkontrol oleh
dokter yang sesuai.
IV.3.
Persiapan Pra-operasi
Anamnesis
yang teliti, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
nasoendoskopi, foto polos, computer tomography ( CT-scan) dan laboratorium
harus dilakukan sehingga diagnosis dapat dapat ditegakkan setepat mungkin.(24)
Pemilihan Alat
Endoskop. Ada bermacam-macam, mulai dari 0̊, 30̊, 45̊, 70̊, 90̊, 120̊,
dan lain-lain. Namun dengan 2 buah ukuran endoskop yaitu 4 mm 0̊ dan 4 mm 30̊
untuk dewasa dan 2,7 mm 0̊ dan 2,7 mm 30̊ untuk anak-anak, tindakan bedah
endoskopik (dekompresi) sudah dapat dilakuakan.(24)
Instrumen operasi.
Cunam dan alat lainyang digunakan
tidak boleh terlalu besar agar tidak melukai mukosa. Peralatan dasar yang harus
dimiliki adalah : (24, 27)
1. Spuit dan
jarum panjang
2. Pisau sabit
panjang 18 cm
3. Respatorium
tajam,tumpul panjang 21,5 cm
4. Cunam Blakesley lurus dan upturned thrugh cutting dan non cutting
5. Suction
lurus dan bengkok
6. Kuret J
7. Cunam jerapah
8. Cunam backbiting
9. Kait 90̊
panjang 18 cm
10. Elevator
panjang 20 cm
11. Guide sheath 5 mm
dengan stopcock untuk irigasi
12. Diamond drill diameter 2,0 mm, 2,5
mm, 3,0 mm
Untuk pasien
dengan eksoptalmus persiapan praoperasi seperti : pemeriksaan fisik secara
menyeluruh; pemeriksaan lengkap kepala dan leher; pemeriksaan laboratorium ( T3 danT4 serum, Thyroid-stimulating
immunoglobulin, Thyroid-stimulating hormone, Thyrotropin-releasing hormone, Long-acting thyroid-stimulating
hormone, T3
suppression test); evaluasi radiologi ( ultrasonografi orbita, CT-Scan
kepala , macnetic resonance imaging, CT-Scan tiroid); evaluasi optalmologi (
eksoptalmometer Hertel, optalmoskopi indirect,
Visual-evoked potentials, ketajaman penglihatan, lapangan pandang, fungsi otot
ekstarokuler, tekanan intraokuler, Schirmer test).(12)
Naso-endoskopi
prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat
menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya
meatus medius sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus
media dan lainya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantipasi
kesulitan dan kemungkinan timbulya komplikasi saat opersi.(4,28)
CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasalis(
potongan axial atau sagital ) diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit sinus dan perluasannya serta mengetahui landmark dan
variasi anatomi organ sinus paranasalis dan hubungannya dengan dasar otak dan
orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus kedalam orbita dan intra kranial.(3,4,22,
28)
Gambar CT csan penting sebagai
pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarka
gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan
dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi
komplikasi operasi.(12,29)
IV.4.
Tahapan Operasi
IV.4.1
Anestesia dan Analgesi
Dekompresi
orbital dan nervus optik dapat dilakukan dibawah anestesi lokal setelah premedikasi / sedasi atau anestesi umum. Mukosa
hidung harus dipersiapkan sebaik mungkin untuk mendapatkan efek vasokonstriksi
dan analgesia. Pemilihan
anestesi lokal atau anestesi umum tergantung pilihan pasien, pengalaman ahli bedah, status
kesehatan dan umur dari pasien, tingkat kerumitan dan prosedur yang akan
dilakukan.(16)
Untuk
pasien dengan teknik anestesi lokal, kapas aplikator yang dibasahi dengan campuran 4-5 bagian
pantokain 2% dengan 1 bagian adrenalain
(1 : 1.000). Kapas aplikator tersebut
dimasukkan dibawah konka media atau dapat juga ditempatkan disekitar konka
media diseluruh permukaan mukosa jika memungkinkan sampai mendekati foramen
sfenopalatina. Untuk pasien dengan teknik anestesi umum cukup dengan
menggunakan adrenalin ( 1 : 1.000), dan dibiarkan sekitar 10 menit kemudian
dikeluarkan.(24) Anestesi infiltrasi lapangan
operasi dengan larutan lidokain (xylocain) 1 % yang mengandung epinefrin 1 : 200.000 untuk menunjang
efek vasokonstriktor dan mengeringkan lapangan operasi. (4,16)
Saat ini anastesi umum dengan teknik
hipotensi terkendali merupakan teknik anastesi yang paling popular baik di
Negara Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali hipotensi akan mengurangi
perdarahan sehingga lapangan operasi lebih jelas dan kemungkinan komplikasi
terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula operator dapat bekerja lebih baik dan
tenang.(30)
Namun demikian hipotensi kendali ini
memiliki resiko pada pasien misalnya geriatrik. Disamping itu penggunaan
halotan bersama vasokonstriktor dapat menimbulkan resiko iritabilitas jantung.(30)
IV.4.2
Teknik Operasi dekompresi orbital
Tahap
awal operasi dekompresi orbital dilakukan infundibulotomi ( uncinektomi), Insisi unsinatus dibuat tepat
bagian posterior garis maksila yaitu penonjolan tulang yang memanjang dari
perlengketan dianterior pada konka media sampai dasar dari konka inferior.
Insisi prosesus unsinatus pada bagian posterior garis maksila,
mulai dari perlengketan anterior sampai ke dasar konka media.
(Metson RB) (16)
|
Seluruh prosesus unsinatus diluksasi
ke medial dengan menggunakan respa sehingga rongga infundibulum terbuka. Pengangkatan
prosesus unsinatus umumnya menggunakan ball
tip probe dan back bitter atau microdebrider
untuk memotong prosesus unsinatus. Jika CT scan preoperative menunjukkan
prosesus unsinatus menepel pada lamina papirasea maka digunakan back bitter untuk menghindari kerusakan
dari periorbita.(3)
Setelah perlengketan prosesus unsinatus terlepas
kemudian dilakukan sinustomi maksilaris tipe III yakni memperluas ostium sinus maksilaris kearah
dinding posterior antrum maksila dan bagian anterior kantong lakrimalis, kearah superior sampai setinggi
dasar orbita, arah inferior sampai kedasar dari konka inferior. Dengan endoskop 30 derajat
dugunakan untuk mengidentifikasi nervus infraorbital sepanjang atap sinus.(16)
Gambar A. Pelebaran ostium sinus
maksila B (metson)(16).
diagram area tulang dan mukosa yang dilepaskan pada maksila sinustomi tipe III
(Siemmen
D)(2)
Setelah
dilakukan sinustomi maksilaris tipe III, dilakukan sfenoetmoidektomi yakni perluasan
etmoidektomi anterior dengan melibatkan etmoidektomi posterior dan sinus
sphenoid. untuk mengidentifikasi arteri etmoidalis anterior dan posterior
sepanjang atap etmoid. konka media yang berfungsi sebagai petanda selama
sfenoetmoidektomi dikeluarkan sebelum membuka lamina papirasea untuk
mengoptimalkan paparan terhadap dinding medial.(2,16,24,31)
Lamina papirasea dengan lembut ditembus dengan kuret kecil (spoon curette). Serpihan tulang lamina
diangkat kearah medial untuk menghindari perforasi periorbital dengan
menggunakan elevator periosteal atau forcep
Blakesley yang halus.(16)
Gambar
A. lamina papirasea ditembus dengan menggunakan kuret sepanjang dinding medial
orbital. B. fragmen tulang dikeluarkan dengan forcep pada dinding medial
orbital untuk mengekspose periorbita ( Metson R)(16)
Pelepasan tulang ( lamina papirasea)
kearah superior setinggi atap etmoid, kearah inferior sampai kedasar orbita,
kearah anterior sampai ke garis maksila. Tulang diatas resesus frontalis
dibiarkan utuh untuk mencegah prolapsus lemak orbita dan akan menghalangi
drainase sinus frontalis. Pelepasan lantai orbital secara teknik sulit. Dengan
menggunakan kuret (spoon curette)untuk
mematahkan kearah bawah tulang lantai orbita. Hanya bagian medial tulang lantai
orbit dari nervus infraorbital yang
dikeluyarkan.(16,31)
Gambar
fragmen lantai orbital dipatahkan kebawah dengan kuret, pelepasan tulang
yang terletak pada bagian medial nervus infraorbital.(Metson R)(16)
|
Setelah periorbita telah sepenuhnya
terbuka dan dibersihkan dari fragmen tulang, kemudian periorbita dibuka dengan
sabit pisau (sickle knife). Insisi
dimulai di depan sinus sphenoid, kemudian Insisi periorbita diperpanjang
sepanjang atap ethmoid dan dasar orbital.(16,31)
Gambar
Insisi lapisan fasia periorbital dengan pisau sabit ( sickle knife) dan dekeluarkan ( Retson R)(16)
\
|
Selesainya dekompresi jika lemak
orbital turun (prolapsus) ke sinus etmoid dan sinus maksilaris. Dekompresi
orbital lateral dilakukan setelah proses ini, tergantung sejauh mana penyakit
pasien dan tingkat dekompresi yang diinginkan.(16,31)
Gambar A. Herniasi lemak orbital ke sinus etmoid dan
maksila sebagai tahap akhir dekompresi. B. Area tulang yang dilepaskan pada
dekompresi orbital termasuk lamina papirasea dan dasar medial orbital sampai
fisura infraorbital. (Metson R)(16)
IV.4.3
Teknik Operasi dekompresi nervus optik
Setelah
dilakukan dekongesti nasal dan injeksi vasokonstriktor, dilakukan
sfenoetmoidektomi untuk mendapatkan akses ke kanal optik dan apeks orbita.(12) Didalam sinus sfenoid, nervus optik dan
tonjolan arteri karotis interna dapat di identifikasi, kemudian tuberkel optik
divisualisasi. Setelah
sinus sfenoid terbuka dan lamina papirasea tampak dengan jelas, kemudian lamina
papirasea diangkat
dari depan ke
belakang sekitar 1
sentimeter bagian anterior sfenoid dengan menggunakan kuret dan forceps Blakesly
dan dilakukan diseksi antara sfenoid dan periorbita sampai
ke tuberkel optik.(24) Dengan
menggunakan diamond grinder khusus,
tulang diatas optik tuberkel dan
sepanjang kanal optik dilepaskan sampai kebagian yang mengalami kompresi, dan
secara komplit dapat dilepaskan dengan menggunakan instrumen khusus (mikrokuret).
Pada kasus fraktur (umumnya secarah
transversal) melalui kanal optik, tulang
dilapaskan 3-4 milimeter diluar area fraktur, dengan kondisi seperti ini nervus
optik dan sarung nervus optik dapat dibuka kearah medial sampai 180 derajat.(24)
Membuka sarung nervus optik ( optikal nerve sheath) merupakan tindakan selanjutnya, tetapi hal
ini masih diperdebatkan karena komplikasi berupa kebocoran cairan
serebrospinalis dan melukai pembuluh darah yang mensuplai nervus optik.(8). Plecher dkk
tidak menganjurkan membuka sarung nervus optik.
Jika tetap membuka sarung nervus optik (optikal nerve sheath) seharusnya berkonsultasi dengan ahli mata,
dan dilakukan insisi bagian atas dari sarung nervus optik mulai dari belakang
sampai bagian depan tepat bagian akhir korona Zinn ( Zinn’s corona ) dengan menggunakan pisau sabit ( sickle knife). Insisi pada sisi bawah
dari sarung nervus optik harus dihindari, dengan tujuan menghindari resiko
cedera arteri optalmikus, jika terjadi variasi letak dari arteri tersebut lebih
ke arah medial. Jika sarung nervus optik tersebut terbelah, dengan segerah
bekas insisi tersebut ditutup dengan lem fibrin (fibrin glue) untuk menghindari
kebocoran cairan serebrospinalis. Disarankan tidak menggunakan jenis tanpon
apapun pada operasi dekompresi nervus optik.(24)
a. Identifikasi nervus optik dan
arteri karotis interna pada sinus sfenoid
b. Setelah visualisasi tuberkel
optik, lamina papirasea diangkat dari depan ke belakang dan dilakukan diseksi
periorbita
c . Dengan bur diamond, tulang diatas tuberkel optik dan sepanjang kanalis optik
ditipiskan
d. Dengan mengunakan kuret, sisa
teberkel optik dikeluarkan keseluruhan
e. Insisi sarung optik (optical sheath)
Gambar skema tahapan dekompresi
nervus optik ( Stammberger) (24)
V.
Komplikasi
Komplikasi
dekompresi orbital dan nervus iotik
Diplopia.
Penglihatan ganda (diplopia) disebabkan karena perlukaan otot mata, otot rektus
medialis dan otot obliq superior yang melekat ke sinus. Otot rektus medialis
terletak tepat sebelah lateral periorbita sekitar bagian tengah lamina
papirasea. Otot obliq superior letaknya diatas orbital tepat sebelah lateral
atap etmoid dan secarah anatomi sangat sulit dicapai melalui intranasal. Perlukaan
dapat terjadi secarah langsung atau perlukaan pada nervus atau pembuluh darah
yang mensuplai otot mata dan secarah tidak langsung sebagai hasil dari konduksi
panas yang berasal dari kauter atau kaustik.(3) Diplopia akibat perubahan aksis dari bola mata jika tulang
maksila pada bagian inferomedial dari orbita (antara dinding medial dan dasar
orbita) dikeluarkan berlebihan meskipun ligamentum suspensori tidak cedera.(2)
Perdarahan
pasca operasi. Resiko hematoma orbital dengan retensi darah diruang
retrobulbar yang dapat menyebabkan penetrasi ke periorbita. Perdarahan retrobulbar merupakan merupakan
komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras
disertai edema kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, optalmoplegi dan
proptosis. Perdarahan orbital umumnya disebabkan trauma vena orbital yang menempel pada lamina
papirasea.(2,30,31)
Epipora
karena perlukaan duktus nasolakrimalis. Komplikasi ini sangat jarang
terjadi karena duktus nasolakrimalis berada disepanjang kanal keras sakus
lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat
pelebaran ostium maksila ke arah anterior.(29)
Kebocoran
serebrospinalis. Kebocoran cairan serebrospinalis selama prosedur bedah
merupakan komplikasi yang jarang. Insidens komplikasi ini dilaporkan sebanyak
0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera dilakukan penambalan
menggunakan jaringan sekitarnya. Kebocoran cairan serebrospinal pada
saat melakukan etmoidektomi karena duramater dapat tertembus mulai dari
etmoidalis anterior sampai sfenoidalis. Kebocoran cairan serebrospinalis juga
terjadi pada saat kita melakukan insisi sarung nervus optik yang terletak dalam
kanal nervus optik, hal ini karena sarung nervus optik akan berlanjut menjadi
duramater pada daeran tersebut.(2,24) Jika tetap akan melakukan insisi pada sarung nervus optik
dengan segera menutup bekas insisi dengan fibrin
glue (lem fibrin) untuk menghindari kebocoran cairan serebrospinalis. Membran Jaringan hidup (matrial endogenik)
: fasia temporalis, mukosa septum dan
konka, fasia lata, kartilago aurikula dan
matarial eksogenik : freeze-dried
dura, garotex patch dapat digunakan untuk menutup kebocoran cairan
serebrospinalais.(12,24)
Kerusakan
nervus optikus. Hal ini terjadi pada saat melakukan sfenoetmoidektomi,
nervus optik mengalami cedera secara langsung karena letak nervus optik
terdapat dalam sinus sfenoid.(25) Nervus optik mengalami kerusakan oleh
panas yang dihasilkan oleh bor (diamond burr) yang dihantarkan ke nervus optik
pada saat mengurangi ketebalan tulang sfenoid
yang membentuk atap orbita dengan menggunakan bur. Hal ini bisa
dihindari dengan irigasi saat melakukan bur pada tulang tersebut.(2)
Empisema periorbita dan selulitis
periorbita. Celah yang terbentuk pada saat lamina papirasea di insisi merupakan tempat
masuknya udara kedalam jaringan lunak sekitar mata. Masuknya udara tersebut karena peningkatan tekanan
intranasal pada saat meniup lewat hidung dalam empat hari pertama atau pada
saat bersin. Empisema periorbita juga terjadi pada saat ekstubasi anestesi
dengan memberikan ventilasi dengan sungkup. Untuk menghindari komplikasi
tersebut terjadi disarankan ke pasien tidak meniup lewat hidung atau bersin dalam empat hari pertama
operasi dan pada saat ekstubasi jangan memberikan ventilasi yang terlalu
kuat. Selulitis periorbita merapakan
komplikasi yang potensial ditandai dengan nyeri yang progresif dan pembengkakan sekitar mata, untuk
menghindari komplikasi ini diberikan antibiotik propilaksis.(2)
Toxic shock syndrome (TSS). Untuk mendapatkan dekompresi yang
optimal diharapkan menghindari pemakaian tampon hidung pasca operasi.(manual ESS) Pemakaian tampon hidung pasca operasi
dapat menyebabkan toxic shock syndome
yang dihasilkan oleh starin stafilokokus aureus. Bila harus mengggunakan tampon setelah operasi,
direkomendasikan untuk memberikan bacitrasin salep yang merupakan agen efektif melawan
stafilokokus aureus.(30)
VI.
KESIMPULAN
Dekompresi orbital endoskopik
memberikan lapangan operasi yang luas untuk mengangkat tulang orbital dengan
aman, khusunya melalui atap etmoid dan apeks orbital. Dibandingkan dengan
dekompresi transantal, pendekatan dengan endoskopik dapat menghindari
hipoestesia nervus infraorbital pasca operasi , perdarahan kurang dan perawatan
rumah sakit menjadi lebih singkat.
Dekompresi endonasal orbital
endoskopik merupakan prosedur untuk memperbaiki penglihatan, mengurangi
proptosis dan tekanan intraokuler dan secara kosmetik lebih baik pada sebagaian
pasien. Setelah dekompresi diplopia dan strabismus berhasil dilakukan dengan
operasi otot mata atau dengan menggunakan prisma.
Dekompresi
orbital endoskopik harus dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman dengan
teknik intranasal endoskopik. Operasi dekompresi tidak terpisahkan dengan isi
orbital termasuk otot ekstraokuler, sakus lakrimalis dan nervus optik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kursus,
Pelatihan dan Demo Operasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsinal. Makassar. 2000. p.
26-40
2.
Siemmen D, Jones N. Orbital
Decompression and Optic Nerve Decompression In : Manual of Endoscopic Sinus
Surgery. Thiema Stuttgart. 2002. p. 221-227
3.
Holt GR, Holt JE, Otto RA. Surgery for
Exophthalmos. In: Bailey BJ, Johnson
JT. Head & Neck Surgery Otolarhingology. 4th Edition. Volume 1.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 200. p.2453-65
4.
Yuen APW, Kwan
KYW, Chan E, Kung AWC, Lam KCL. Endoscopic transnasal orbital decompression for
thyrotoxic orbitopathy. http://www.hkmj.org/article_pdfs/hkm0212p406.pdf
5.
Stiglmayer N,
Mladina R, Tomic M, Tojagic M, Juri J, Buba N, Meazovac V. Endonasal Endoscopic
Orbital Decompression in Patients with Graves’ Ophthalmopathy. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15185426
6.
Prabhakaran
VC, Hsuan J, Selva D. Endoscopic-Assisted Removal of Orbital Roof Lesions Via a
Skin Crease Approach. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2095120/
7.
Metson R, Dallow RL,
Shore JW. Endoscopic orbital
decompression. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8052080
8.
Pletcher SD, Metson R. Endoscopic Optic Nerve Decompression
for Nontraumatic Optic Neuropathy. Available at http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/133/8/780.pdf
9.
O’Brien EK,
Leopold D, Giganteli JW, Siegel M. Optic Nerve Decompression for Traumatic
Optic Neuropathy. Available at http://emedicine.medscape.com
10.
Nizar N, Wardani RS. Anatomi Endoskopik
Hidung dan Sinus Paranasalis dan Patofisiologi Sinusitis. Dalam : Kumpulan
Makalah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopik Fungsional.
Bagian Ilmu Penyakit THT-KL. FK-UNHAS. Makassar. 2000.
11.
Kamel R. A Step by Step Guide in
Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall, Ostiomeatal Complex and Anterior
Skull Base.Schramberg. Germany. 2002
12.
Walsh WE, Kern
RC. Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In: Bailey BJ, Johnson JT.
Head & Neck Surgery Otolarhingology. 4th Edition. Volume 1.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2001. p.307-18
13.
Sareen D,
Agarwal AK, Kaul JM, Sethi S. Study of Sphenoid
Sinus Anatomy in Relation to Endoscopic Surgery. Available at http://www.cielo.cl/art12.pdf
14.
Sethi DS.
Endoscopic Surgery of the Orbit. Dalam : Pra kongres nasional, pelatihan dan
Demo Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Bagian Ilmu Penyakit THT-KL. FK-UNHAS.
Makassar. 2000.
16.
Metson RB, Cosrnza M. Endoscopic Orbital Decompression. In : Sinus
Surgery Endoscopic and Microscopic Approaches. Thiema Stuttgart. 2005. p.
306-311
18.
Holt GR, Holt JE, Otto RA. Surgery for
Exophthalmos. In: Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolarhingology. 4th
Edition. Volume 1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. p.
2454-65
19.
Locatelli M. Endoscopic
Endonasal Removal of a Cavernous Hemangioma of the Orbital Apex. Available
at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3114373/
20.
Kessler A,
Berenholz L P, Segel S. Transnasal endoscopic drainage of a medial
subperiosteal orbital abscess. Available at http://faculty.ksu.edu.sa/drhagr/Research/Orbit%20and%20Sinusitis/Transnasal%20endoscopic%20drainage.pdf
21.
Stankiewicz JA.
Complications of Sinus Surgery. In: Bailey BJ, Johnson JT. Head & Neck Surgery Otolarhingology. 4th
Edition. Volume 1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. P.
478-490
22.
Tiffany G, Bryan G. Minimally Invasive
microsurgery of the Skull Base. Available at http://www.skullbaseinstitute.com/head-and-neck-tumors/rhabdomyosarcoma-rms-sarcoma.html
23.
Spoor TC. Tramatic optic neuropathies.
Available at : http://medtextfree.wordpress.com/2011/02/10/chapter-194-traumatic-optic-neuropathies/
24.
Stammberger H.
FESS-Endoscopic Diagnosis and Surgery of the Paranasalis Sinuses and Anterior
Skull Base. In : The Messerkliner Technique and Advanced Applications from the
Graz School. Austria. 2006
25.
Gormley PD, Boeyer J, Jones NS, Downes
RN. The Sphenoidal Sinus in Optic Nerve
Decompression. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9474325
26.
Mangunkusumo E. Persiapan Operasi MSEF.
Dalam kumpulan Makalah lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus
Endoskopik Fungsional. Bagian Ilmu Penyakit THT KL, UNHAS 2000
27.
Brent
AS. Endoscopic approach to benign tumour of the paranasal sinuses. New York.
Thiema. 2000. p. 297-308
28.
Stultz TW, Modic MT. Imaging of the
Paranasal Sinuses. In: Levine HL, Clemente MP, Sinus Surgery Endoscopic and
Microscopic Approaches . Thiema. New York. 2005. p.65- 89
29.
Buku Panduan
Diseksi Kadaver. Bandung ORL-HNS Week
Endoscopic Sinus Surgery Wokshop. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Unuversitas padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung/Perhati-KL Cabang Jawa Barat. 2009
30.
Schaefer
SD et al. Endoscopic and
Transconjunctival Orbital Decompression for Thyroid-Related Orbital Apex Compression.
Available at http://www.nyee.edu/ent_rss_sts_orbitaldecompress01.html
31.
Balasubramanian T. Endoscopic Surgery of
orbit. Available at http://www.drtbalu.co.in/orbital_comp.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar