PENDEKATAN ENDOSKOPIK TRANSNASAL PADA PENANGANAN
KISTA
RADIKULER
I.
PENDAHULUAN
Kista adalah suatu rongga patologis yang
dibatasi epitel, berkapsul jaringan ikat berisi cairan kental, semiliquid atau
darah. Kista sejati adalah rongga yang dibatasi oleh epitel.(Larsen,
peter E, 2005)
Kista epitel rahang penyebab terbanyak
pembengkakan yang bersifat jinak pada rahang, dibedakan atas 2 jenis yakni inflamasi dan jenis
perkembangan. Kista radikuler merupakan jenis paling sering diantara jenis
kista inflamasi dan terjadi pada
apeks gigi khususnya terjadi pada orang dewasa. Kista radikuler terbentuk
sebagai hasil stimulasi epitel odontogenik ( rest of Malassez) sekitar apeks akar gigi.(Kahairi
A, Khan SA, Amirozi A, 2009)
Berbagai
bentuk terapi kista rahang telah diuraikan, seperti enukleasi, kuretase,
dekompresi, marsupialisasi dan reseksi. Akan tetapi kista dengan ukuran besar
merupakan salah satu penyulit dalam penatalaksanaan kista rahang disebabkan karena
ekspos yang terbatas dan akses untuk melakukan enukleasi. Prosedur dental telah
digunakan untuk penanganan kista maksilaris, kista radikuler dan kista dentigerous. Prosedur ini membutuhkan insisi ginggival
dan ekstraksi gigi yang terlibat. Fistula oroantral dan rinosinusitis kronik
merupakan komplikasi utama yang berhubungan dengan penanangan dengan prosedur
dental. Pada kondisi seperti ini
endoskopi kaku dengan pendekatan transnasal dapat digunakan untuk enukleasi kista.
(Kahairi A, Khan SA, Amirozi A, 2009
)
Bedah sinus endoskopi digunakan secara
luas untuk
penanganan pasien dengan rinosinusitis kronik. Saat ini indikasi untuk bedah
sinus endokopi meluas untuk penanganan penyakit hidung yang lain seperti tumor
jinak kavum nasi, fistel cairan serebrospinal, blowout
fracture dari dasar orbita, dekompresi optikal
dan nervus optik dan ligasi dari arteri spenopalatina dan arteri maksilaris.(Seno
S, Ogawa T, Shibayama M, Ogawa F, Fukui J, Owaki S, Suzuki M, Shimizu T 2009)
II.
ANATOMI
GIGI
Secara
makroskopik, menurut letak dari email dan sementum, gigi dibagi dalam beberapa
bagian yaitu : ( wangidjaja I.H, 2002)
1. Mahkota/korona
ialah bagian gigi yang dilapisi jaringan enamel/email dan normal di luar
jaringan gusi/ginggival.
2. Akar/radiks
ialah bagian gigi yang dilapisi jaringan sementum dan ditopang oleh tulang alveolar
dari maksila dan mandibula.
3. Garis
servikal/semento-enamel junction
ialah batas antara jaringn sementum dan email, yang merupakan pertemuan antara
mahkota dan akar gigi
4. Ujung
akar/apeks ialah titik yang terujung dari suatu benda yang runcing atau bentuk
kerucut seperti akar gigi.
5. Tepi
insisal ( insisal edge) ialah suatu tonjolan kecil dan panjang pada bagian
korona dari gigi insisivus dan yang digunakan untuk memotong/mengiris makanan.
6.
Tonjolan/cusp ialah tonjolan pada bagian
korona gigi kaninus dan gigi posterior, yang merupakan sebagian dari permukaan
oklusal
|
III. HISTOLOGI GIGI
Dilihat
secara mikroskopik, struktur dari tiap-tiap gigi manusia terdiri dari:
( wangidjaja H.I, 2002)
1. Jaringan
keras ialah jaringan yang mengandung bahan kapur, terdiri dari jaringan
email/enamel/glasir, jaringan
dentin/tulang gigi, dan jaringan sementum. Enamel dan sementum ialah
bagian/bentuk luar yang melindungi dentin. Dentin merupakan bentuk pokok dari
gigi, pada satu pihak diliputi oleh jaringan email (korona) dan pihak lain
diliputi oleh jaringan sementum (akar), merupakan bagian terbesar dari gigi dan
merupakan dinding yang membatasi dan melindungi rongga yang berisi jaringan
pulpa.
2. Jaringan
lunak (jaringan pulpa) ialah jaringan yang terdapat dalam rongga pulpa sampai
foramen apical, umumnya mengandung bahan dasar ( ground substance), bahan perekat, sel saraf yang peka terhadap
rangsangan meakanis, termis dan kimia, juga mengandung jaringan limfe, jaringan
ikat, dan arteri serta vena.
3. Rongga
pulpa terdiri dari :
a. Tanduk
pulpa yaitu ujung ruang pulpa.
b. Rongga
pulpa yaitu ruang pulpa dikorona gigi
c. Saluran
pulpa yaitu saluran di akar gigi, kadang-kadang bercabang, dan ada saluran
tambahan
d. Foramen
apikal yaitu lubang di apeks gigi, tempat masuknya jaringan pulpa ke rongga
pulpa
Gambar 2. Diagram mikroskopik potongan
sagital incisivus di os mandibula
(Dikutip dari Wangidjaja I, H., 2002)
III.
EPIDEMIOLOGI
Kista radikular merupakan jenis
kista yang paling sering ditemukan pada rahang, sekitar 52%-68% dari seluruh
kista yang ditemkan dirahang. Lokasi tersering terjadi 60% pada maksila dengan
frekuensi tersering di maksila terutama region anterior dan mandibula pada
region posterior, namun kista ini dapat terjadi di region mana saja di rahang.
Insiden tertinggi terjadi pada usia dekade ke-3 dan ke-4 dan jarang terjadi
pada anak. Kista radikular lebih banyak ditemukan pada laki-laki sekitar 58%
dibandingkan dengan wanita 42%. (Latoo S, Shah
AA, Jan SM, Qadir S, Ahmad I, Purra AR, Malik AH 2009. Mathre NP 2002)
IV.
ETIOLOGI
Kista radikuler dapat terjadi akibat faktor trauma fisik, kimia, atau
bakteri sehingga terjadi kematian pulpa yang diikuti oleh stimulasi sel sisa
epitel Malassaez yang normalnya
terdapat pada ligamentum periodontal. (Mhatre
N.P, 2002)
V.
PATOGENESIS
Kista radikuler berasal dari sisa
epitel Mallassez (rest of Mallassez)
pada apeks granuloma atau periapikal gigi non vital yang terstimulasi untuk
berproliferasi oleh proses inflamasi.
Kista radikuler secara umum terjadi karena infeksi pulpa yang terjadi pada gigi
yang karies. Bakteri yang berasal dari sulkus ginggiva atau kantong periodontal
mencapai kanal sisa akar gigi melalui pembuluh darah periodontal. Mikroba juga
dinyatakan berasal dari nekrosis pulpa melalui sirkulasi darah ( anachoresis).
Lingkungan endodontik
merupakan habitat untuk
tumbuhnya flora khususnya bateri anaerob. Habitat tersebut memiliki sifat-sifat
biologis dan patologis seperti : antigenisitas,
aktivitas mitogenik, kemotaksis, enzim hitiolitik, dan aktivasi sel
pejamu. Mikroba dan produknya menginvasi saluran akar dan kemudian ke
periapeks. Sebagai respon, tubuh memiliki pertahanan tubuh berupa sel-sel
tertentu, antibodi,
dan molekul efektor. Mikroba dan perlawanan pertahanan tubuh yang terjadi
menyebabkan merusakan dari jaringan periapikal dan terentuk berbagai kategori
lesi periodontitis apikal. Kista periapikal merupakan sequel langsung dari periodontitis apikal kronis, tetapi tidak
setiap lesi kronis tersebut berkembang menjadi kista. Ada dua jenis kista
periapikal yaitu kista yang mengandung
rongga yang secara utuh dilapisi oleh lapisan epitel ( true cyst) dan kista yang mengandung rongga yang dilapisi lapisan
epitel yang terbuka ke saluran akar ( bay
cyst/pocket cyst). (Latoo S, Shah AA, Jan
SM, Qadir S, Ahmad I, Purra AR, Malik AH
2009.)
Gambar 3.
Ilustrasi menunjukkan sumber potensial dari epitel odontogenik yang bertanggung
jawab terbentuknya kista odontogenik
(Dikutip
dari Larsen, Peter E., 2005)
Patogenesis
kista asli ( true cyst) terjadi dalam
3 fase yaitu : ( Mhatre,N.P, 2002,
Nair
P.N.R, 2003 (suhail latoo 2009)
1. fase pertama ( inisiasi)
Secara umum telah diketahui bahwa
lapisan epitel kista radikuler berasal dari sel sisa epitel Mallassez ( rest of Malassez) dalam ligamentum
periodontal. Sel sisa Malassez yang tertidur ( dormant ) mengawali proliferasi sebagai akibat langsung dari
inflamasi, kemungkinan dibawah kendali antigen bakteri, epidermal growth factors, sel-sel mediator, dan metabolit yang
dilepaskan oleh berbagai sel yang berdiam pada lesi periodontal.
2. fase kedua ( pembentukan kista)
Ada dua teori tentang pembentukan kista
1. Teori
defisiensi nutrisi ( Mhathre,N.P, 2002, Suhail
latoo,2009. Wray D, 2003)
Teori
defisiensi nutrisi didasarkan pada asumsi bahwa epitel massa dari sel–sel pada
bagian sentral menjadi terpisah semakin jauh akibat perbandingan nutrisi yang
berbeda pada lapisan basal, yang terjadi oleh karena gagalnya pemenuhan nutrisi
yang adekuat sehingga terjadi degenerasi berbentuk cairan (liquofaction) dan nekrosis, hal ini menyebabkan terbentuknya suatu
rongga berlapis epitel berisi cairan. Alternatif lain berupa sel-sel dapat membentuk
lembaran yang mencakup bagian dari granuloma dengan akibat yang sama berupa
pecahnya isi dari granuloma yang terbuka sehingga terbentuk pusat berupa cairan
dari kista.
2. Teori
abses (Latoo S 2009, Nair P.N.R,2009)
Dasar
dari teori abses bahwa proliferasi lapisan epitel rongga abses dibentuk oleh
jaringan nekrosis dan jaringan yang lisis oleh karena sifat alami dari sel-sel epitel akan menutupi permukaan
yang terpapar oleh jaringan ikat.
3. Fase
ketiga pembesaran kista. (mathre 2002, suhail
latoo 2009)
Dari penelitian terbukti bahwa osmosis memiliki
peranan dalam peningkatan ukuran kista. Adanya jaringan nekrotik, eksudat
plasma protein, dan asam hialuronat dalam rongga kista mengakibatkan tekanan
osmosis cairan kista lebih tinggi dari cairan jaringan sekitarnya sehingga akan
menarik cairan masuk kedalam rongga kista menyebabkan ukuran kista membesar.
Mekanisme pembentukan kista periapikal bentuk
kantong (“periapical pocket cyst”)
diawali dengan sebuah perluasan yang menyerupai gelembung kecil dari ruang
saluran akar gigi yang terinfeksi ke periapikal. Ruang lumen kecil ini (“microlumen”) ditutup oleh epitel skuamosa
bertingkat kemudian bertumbuh dan membentuk leher ( collar) yang tersusun dari epitel sekitar ujung akar gigi. Epitel
berbentuk leher tersebut mengadakan perlengketan ke permukaan akar gigi yang
terinfeksi dan di bagian lain lumen kecil berbentuk kistik disekitar
periapikal. Hadirnya mikroorganisme pada saluran akar apikal menarik granulosit
netrofil melalui proses kemotaksis kedalam mikrolumen. Lumen yang menyerupai
kantong membesar untuk menampung debris untuk membentuk divertikulum dari ruang
saluran akar ke daerah apikal.(Nair, P.N.R,
1998)
Proses resorbsi tulang melibatkan regulasi mediator.
Beberapa faktor resorbsi
tulang (bone-resorbing factors) telah di isolasi dari kista radikuler seperti
prostaglandin (PGE2, PGI2), leukotrin, and
kolagenase. IL-1 merupakan sitokin yang paling aktif dalam perluasan kista
melalui efek terhadap proliferasi fibroblast, produksi prostaglandin
oleh kasul fibrosis dan psteolisis.
Mediator yang terlibat dalam proses inflamasi dan resobsi tulang sangat
kompleks. Penelitian pada manusia dan binatang menunjukkan proliferasi aktif
dari sitokin yang lain seperti IL-6, IL-3, Granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF) IL-11,IL-17 dan IL-18, memiliki peranan pada patogenesis dan penyakit ostelitik.(Kiss
C ,2004, Gervasio, A.M, 2002)
VI.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
dan Pemeriksaan fisis
Anamnesis
pasien tidak memperlihatkan gejala apapun karena pada umumnya bersifat
asimptomatik, terutama kista radikuler yang kecil. Kista radikuler tidak nyeri
jika tidak mengalami infeksi. Beberapa pasien dengan kista radikuler mengeluh
rasa sakit walaupun tidak ada bukti adanya infeksi dan tidak ada bukti klinis
adanya peradangan akut yang terlihat secara histologis. Sama halnya beberapa
pasien secara klinis adanya infeksi akut dan secara histologis adanya inflamasi
tetapi mereka tidak mengeluh rasa sakit.(Latoo
S, 2009)
Dari pemeriksaan fisis dapat
ditemukan adanya nyeri saat palpasi dan perkusi daerah gigi yang memiliki kista
radikuler yang terinfeksi. Pada mandibula, penekanan pada nervus dentalis
inferior hampir tidak pernah memberikan reaksi anestesia atau parestesi pada
daerah mental, hal ini penting untuk membedakan kista radikuler dengan tumor. (
Alexadridis, C, 2007)
2.
Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi kista radikuler tampak sebagai lesi osteolitik atau radiolusen (berbentuk lingkaran atau oval) dengan batas radiopak yang tegas dengan ukuran yang bervariasi yang mengelilingi apeks radiks dentis, kecuali jika kistanya terinfeksi maka gambaran radiopak di tepi akan menghilang. ( Alexadridis,C, 2007, Wray, D, 2003)
Gambaran radiologi kista radikuler :
1. Bentuk
melingkar atau bulat radiolusen dengan tepi yang radiopak
2. Gambaran
radiolusen pada apeks dentin
3. Gigi
dan struktur lain yang berdekatan mengalami perubahan tempat
Gambaran radiologi kista radikuler yang
terinfeksi
1. Rongga
kista tampak dengan batas yang tidak jelas
2. Struktur
dibelakangnya menjadi tidak terlihat dan defek tampak seperti terowongan
3. Ruang
ligamentun periontal yang mengelilingi gigi menjadi lebar.
Pemeriksaan CT-scan memperlihatkan
densitas kista radikuler -20 sampai + 20 HU, gambaran berawan daerah lesi
periapikal, massa jaringan lunak yang homogen, pada dinding superior kadang
ditemukan dinding ganda. Pada pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan daerah
yang anehoik dengan kontour dan pinggir yang halus dan tidak adanya vaskularisasi
internal pada pemeriksaan dopler flowmetri, menunjukkan rongga terisi dengan
cairan (kista).(Aggarwal, V, 2008)
3.
Pemeriksaan patologi
Gambaran utuh, kista berupa massa dengan
bentuk sferis ( bulat) atau oval tetapi sering bentuk yang tidak teratur dan
kolaps. Dinding kista memiliki dinding dengan ketebalan bervariasi mulai dari
yang sangat tipis sampai ketebalan 5 mm. Permukaan bagian dalam sangat halus
dan bergelombang. Isi dari kista berupa cairan warna coklat yang dihasilkan
dari pecahnya pembuluh darah dan jika ada kristal kolesterol warnanya berupa
kuning keemasan atau warna seperti jerami.(Latoo,
S, 2002)
Kista radikuler hampir seluruhnya dilapisi oleh epitel skuamosa bertingkat tidak berkeratin dengan ketebalan yang bervariasi. Lapisan epitel ini dapat berproliferasi dan mengalami inflamasi atau dalam keadaan tenang dengan berbagai diferensiasi. Dinding kista yang berupa jaringan ikat kolagen dapat diinfiltrasi oleh sel-sel lekosit polimorfonuklear seperti limposit dan netrofil. Pada lapisan epitel kista radikuler dapat ditemukan dalam jumlah kecil ± 10 % hyaline bodies ( Rusthon’s hyaline bodies) yang berbentuk bulan sabit yang diperkirakan berasal dari perdarahan dalam dinding kista yang mengalami infeksi. (Latoo,S, 2002, Chung,W, 2006 Mhathre, 2002)
Gambar Kiri. Panah no.1 menunjukkan daerah hemoragik
di dalam kavitas kista, dan panah no.2 menunjukkan kapiler pada dinding
jaringan ikat. Kanan. Pembesaran lebih tinggi menunjukkan lapisan epitel
skuamosa bertingkat pada kista.
(Gambar
6. dikutip dari sedano, Heddie O., 2002)
4.
Aspirasi kista
Aspirasi isi kantong kista dapat bernilai diagnostik. Pada kista
dengan ukuran lebih dari 1,5-2 cm, cairan encer atau kental yang dapat
diaspirasi menyingkirkan adanya massa padat lainnya.
( Alexandridis, C, 2007)
VI.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan endodontik :
Lesi perifer termasuk kista
radikuler sendiri dapat menghilang apabila agen penyebabnya telah dihilangkan.
Sebagian besar kista radikuler dapat disembuhkan dengan “ root canal treatment”, khususnya kista radikuler dengan ukuran
kurang dari 5 mm dan tidak membutuhkan intervensi bedah.
(Mhathre, N.P, 2002, Chung, W, 2006)
Pengobatan
kista radikuler, sebagai penyakit saluran agar terdiri dari pemberantasan
mikroba atau secara subtansial mengurangi jumlah mikroba dari saluran akar dan
mencegah infeksi berulang kembali. Perawatan akar gigi memiliki tingkat
keberhasilan yang tinggi walaupun demikian angka kegagalan masih tetap terjadi
hal ini disebabkan karena ada saluran akar gigi yang tidak dapat dibersihkan.
(Latoo, S, 2002)
Pembedahan
Ada dua metode pembedahan kista :
enukleasi ( pengeluaran kantong kista secara keseluruahan) dan marsupialisasi
(membuat permukaan rongga kista tetap terbuka).
( wray, D, 2003, Alexandridis, C, 2007)
1. Enukleasi
Pembedahan dengan metode ini meliputi
pengeluaran kantong kista secara keseluruhan dan penyembuhan luka menjadi
tujuan utama. Metode ini merupakan pengangkatan kista yang paling memuaskan dan
diindikasikan pada semua kasus tanpa merusak gigi dan struktur anatomi lainnya
yang berdekatan. ( Alexandridis, C, 2007)
Prosedur pembedahan dengan metode
enukleasi terdiri dari beberapa langkah yaitu :
1. Landmark
sesuai dengan lokasi kista
2. Refleksi
flapmukoperiosteal dan daerah operasi terekspose
3.
Pengeluaran tulang dan bagian-bagian yang terpapar kista
Pengeluaran tulang dan bagian-bagian yang terpapar kista
4. Buat
osseous window untuk mengekspos
bagian kista
5. Angkat
kantong kista dari rongga tulang dngan hemostat dan kuret
6. Daerah
kantong setelah kantong kista dibuang
7. Penutupan
dan penjahitan luka
Gambar 6. Metode
enukleasi kista radikuler di maksila
(
Dikutip dari Alexandridis, 2007)
2.Marsupialisasi
Metode ini biasanya dilakukan untuk
mengeluarkan kista yang besar dan mengeluarkan kista yang besar dan memerlukan
pembukaan surgical window pada tempat
yang sesuai diatas lesi.
|
|
|
|
|
||||
|
||||
|
Gambar 7. Metode operasi
marsupialisasi kista radikuler
(Dikutip dari Alexandridis, 2007)
Laporan Kasus
Nama : Tn. Jumardin
Umur : 30 tahun
Alamat
: PT Antam (Kolaka)
Anamnesis
Keluhan
utama : Nyeri pada langit-langit jika ditekan dengan lidah dialami ± 2 tahun
yang lalu, kemudian disusul munculnya benjolan pada langit-langit, 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit benjolan tersebut pecah
dan keluar cairan dari palatum durum dan
juga dari hidung, warna kecoklatan, tidak berbau.
Obstruksi
nasi kanan dan kiri dialami ± 5 tahun yang lalu, 2 bulan yang lalu keluar
cairan dari hidung dan palatum
( kista pecah), obstruksi nasi berkurang, sakit kepala (+).
Riwayat aspirasi cairan (+) tapi benjolan muncul
kembali.
Pemeriksaan
fisis :
T
: 130 / 80 mmHg N
: 64 kali/menit
P
: 20 kali/ menit S:
36,8 0C
a. Inspeksi dan Palpasi
Pada
pemeriksaan intra oral tampak pembengkakan pada palatum durum, ukuran diameter
3 cm konsistensi lunak, warna sedikit
agak pucat, tidak nyeri tekan, terdapat sisa akar gigi pada molar 1, molar 3
dan sisa akar pada molar 2 kanan atas. Pada region kiri atas sisa akar pada
molar 3 dan impaksi
pada premolar 1, dengan kebersihan mulut kurang.
b.
Otoskopi : membran timpani D/S intak, refleks
cahaya D/S (+), MAE kesan normal
c.
Rinoskopi anterior : Massa tumor (+), lunak, tidak mudah berdarah, warna agak
pucat, tidak nyeri
d.
Faringoskopi : Tonsil T1/T1 tenang, mukosa dinding faring normal
e.
Tidak ada pembesaran kelenjar pada leher
Regio
Cavum oris : Palatum defek ( +), Molar 1atas kanan = sisa akar gigi, M2 :
caries, M3 : infaksi ( riwayat patah), M3 kiri atas : Karies
Laboratorium
:
WBC
: 9,7 x 10 Hb :
13,2 mg/dl
HCT : 42,7% PLT : 330 X 10
GDS : 99 mg/dl SGOT : 14
SGPT : 12 Ureum
: 29
Kreatinin
: 1,3 CT/BT
: 8’00/2’00
PT/APTT
: 10,5/27,5
Foto
Thoraks : Dalam batas normal
CT-
Scan sinus paranasalis ( 01-11-2011)
-
Massa kistik diameter 3
cm pada palatum dengan defek palatum durum dengan sebuah akar gigi menonjol ke
dalam kista
-
Kista terisi cairan dan
udara
-
Perselubungan sinus maksilaris
terutama kanan
-
Sinus paranasalis
lainya bersih
-
Septum nasi deviasi ke
kiri
Kesan
:
-
Kista radikuler pada
palatum durum diameter 3 cm
-
Sinusitis maksilaris
-
Deviasi septum nasi
Deviasi septum nasi
Diagnosis : Kista
radikular maksilaris
Tindakan : Enukleasi kista radikular pada maksilaris + SMR +
FESS
Laporan operasi
1.
Pasien
berbaring terlentang dalam general anestesi, ETT terpasang
2.
Desinfeksi
lapangan operasi dengan alkohol 70%
3.
Pasang
doek steril,kecuali lapangan operasi
4.
Pasang
tampon efedrin
5.
Lakukan
prosedur SMR dengan endoskopik
-
Infiltrasi daerah
landmark dengan lidokain epinefrin 1 : 4
-
Insisi cottle
-
Elevasi mukoperikondrium
dan mukoperiosteum, tampak dinding anterosuperior kista yang
sudah pecah ( cairan kista keluar tersedot)
-
Bebaskan
mukoperinkondrium dan mukoperiosteum, tampak tulang bengkok, buat swinging door
-
Perluas dinding kista
yang terbuka sampai dasar kavum nasi
-
Buat lubang ( hold)
pada mukosa dinding bagian inferior
-
Jahit luka insisi
dengan jahitan sandwich dan jahitan
terputus
-
Pasang tampon
antibiotik kanan 4 buah dan kiri 1 buah
-
Operasi selesai,
perdarahan durante operasi ± 30 cc
A.
Elevasi mukoperikondrium setelah
insisi mukokutaneus junction
B.
Elevasi mukoperikondrium
dilanjutkan mukoperiostieum di atas dinding kista
C. Lakukakan swinging dor pada osseoperikondrium
D.
Tulang yang deviasi dilepaskan
E. Ekspose dinding superior kista
F.
Dinding superior kista sudah
dilepaskan
G/I. Kista setelah dinding superior, lateral,
medial, dan lantai dari kista dilepaskan
H. Jahit (sandwich)luka insisi
I. Pemeriksaan endoskopi 8 hari pasca
operasi
Follow up :
R/
IVFD RL : D5% = 1 : 1 →20 tts/mnt
Post
op. enukleasi kista inj.
Merem 1 gram/12 jam /iv
KU
: baik inj.
Indexon 1 amp/8 jam/ iv
Perdarahan
(-) inj.
Novalgin 1 amp/8 jam /iv
Perawatan
hari 1 ; aff
infus → oral
Post
op. enukleasi kista Ciflos
2 x 500
KU
: baik Minerol
2 x 4 mg
Perdarahan
(-) Ponsamine 2 x 500 mg
Perawatan
hari 2 ; Aff
tampon cavum nasi
Post
op. enukleasi kista Ciflos
2 x 500
KU
: baik Minerol
2 x 4 mg
Perdarahan
(-) Ponsamine
2 x 500 mg
Boleh
pulang, kontrol di poli THT
Pada
hari kelima pasca operasi dilakukan follow up di poli THT, dilakukan toilet
kavun nasi.
Pada
hari ke 8 pasca operasi, luka jahitan septum nasi telah kering dan dilakukan
pengangkatan jahitan dan di evaluasi dengan endoskopi tampak akar gigi
insisivus kanan pada dasar kista yang telah dienukleasi, dasar kista terisi
oleh jaringan dan menjadi lebih tebal, keluhan tidak ada. Rencana konsul ke
poli gigi untuk ekstraksi dan perawatan gigi.
Hasil
pemeriksaan histopatologi pasca operasi :
Dinding kista terdiri dari jaringan
ikat dilapisi epitel gepeng, diantaranya terdapat sel-sel radang kronik.
Kesimpulan
: kista radikuler + peradangan kronik
DISKUSI
Kista
adalah suatu keadaan yang abnormal, tertutup oleh struktur menyerupai kantong
yang dapat terjadi dimana saja pada
tubuh dengan ukuran yang bervariasi. Pada kasus ini kista dibentuk di maksila
dan berasal dari jaringan gigi. Kista dapat berisi cairan, bahan setengah
cairan, darah atau gas. kista normalnya tidak berisi pus, kecuali jika terjadi
infeksi.
Sekitar 52%-68% dari kista rahang adalah kista
radikuler. Kista berasal dari akar atau gigi yang non vital, biasanya
disebabkan oleh karies atau penyebaran
dari proses peradangan pulpa ke daerah periapikal gigi, massa dari
peradangan kronik dibentuk. Kista yang terbentuk pada kasus ini disebabkan oleh
infeksi akar gigi I/2 ( insisivus I kanan) pada gigi yang utuh permanen.
Umumnya kista radikuler terjadi pada gigi yang non vital, produk infeksi pulpa
dan nekrosis pulpa keluar ke jaringan periapikal, dan menginduksi terjadinya
respon inflamsi. sel-sel inflamasi ini secara langsung maupun tidak langsung
menstimulasi proliferasi dari sel epitel malassez sehingga terbentuk kista
radikuler. Pada gigi permanen yang utuh
bisa saja terjadi kista radikuler jika
gigi tersebut dalam kondisi salah posisi (malaligned). Menurut Ainamo dkk
penyakit periodontal (periodontitis)
memperburuk gigi yang salah posisi terutama gigi yang letaknya pada maksilaris
anterior. Lebih lanjut Ainamo dkk perbendapat bahwa hubungan
antara gigi yang salah posisi ( malaligned)
dan penyakit periodontitis lebih jelas pada pasien dengan kesehatan mulut ( oral hygine) yang buruk. Kondisi ini
mungkin yang berperan dalam timbulnya kista radikuler pada kasus ini, yakni adanya
salah posisi sehingga menyebabkan periodontitis kemudian berkembang menjadi
kista.
Kehadiran
kista biasanya tidak diketahui karena secara alami kista ini berukuran kecil.
Diameter kista jarang melebihi 1 cm. Kista ini dapat terjadi pada semua usia, dan
paling sering ditemukan pada usia 30-50 tahun. Dari lokasinya, ditemukan kista
radikuler ini 60% pada maksila. Pada kasus ini ditemukan pada usia 30 tahun,
lokasinya pada maksila dengan ukuran diameter 3 cm , dan termasuk kista cukup
besar.
Kista
radikuler menyebabkan pembengkakan secara perlahan-lahan tanpa disertai rasa
sakit. Kadang tidak ada gejala sampai kista menjadi sangat besar. Jika terjadi
infeksi, akan terjadi nyeri, dan dengan cepat ukuran kista meningkat. Karena telah
dirasakan adanya benjolan di atas langit-langit (palatum durum) maka pasien
mencari pertolongan medik. Penanganan yang pernah diterima pasien berupa
aspirasi kista dan mengecil sewaktu di aspirasi tetapi setelahnya akan terisi
kembali dengan cairan sehingga ukuran kista kembali seperti semula. Pecahnya
kista yang dirasakan didalam mulut dengan
cairan warna kecoklatan yang keluar dari kista sehingga pasien mencari
perawatan medik
lanjut.
Ada
beberapa pilihan perawatan untuk kista radikuler seperti perawatan ortodontik (
root canal treatment) dan terapi
bedah ( enukleasi dan marsupialisasi).
Pada pasien ini ukuran kista relatif besar dan terjadi pada gigi permanen yang
utuh sehingga tidak memerlukan perawatan ortodontik. Rencana awal pengangkatan
kista ini dengan pendekatan sublabial tetapi akan sulit untuk pencapai dinding
superior dan posterior sehingga pada
kasus ini dipertimbangkan operasi dengan kombinasi teknik enukleasi dengan bantuan endoskopi transnasal dengan
melakukan reseksi submukosa untuk mengoreksi adanya deviasi septum sekaligus
sebagai jalan untuk mencapai kista yang terletak tepat dibawah dasar dari
septum yakni tulang maksila bagian anterior. Teknik enukleasi pada kasus ini
kita gunakan dengan mengeluarkan dinding superior, posterior dan sebagaian
besar dinding lateral dengan dinding inferior yang minimal dengan alasan jika
dinding inferior dari kista seluruhnya kita angkat kemungkinan besar akan
terjadi fistula naso-oral (dasar
kavum nasi dan palatum durum begitu tipis karena destruksi oleh kista) sehingga dipertimbangkan tetap
membiarkan dinding inferior tetap ada dengan harapan tidak terjadi fistula tersebut
dan nantinya akan diisi dengan jaringan sehat dikemudian hari.
Adanya
deviasi septum pada kasus ini kemunginan besar disebabkan komplikasi dari kista
radikuler pada tahap awal pembesaran dari
kista. Hal ini dimungkinkan karena adanya obstruksi nasi kiri yang menetap
seiring dengan pembesaran dari kista tetapi setelah kista di lakukan operasi
keluhan berupa obstruksi nasi menghilang, dan deviasi septum terletak tepat
diatas kista. Belum ada penelitian yang mengungkapkan deviasi septum sebagai
komplikasi dari kista radikuler. Hal yang lain
hubungannya dengan deviasi septum
mungkin memang sudah ada tetapi belum menampakkan gejala, seiring dengan
pembesaran kista deviasi septum juga menunjukkan gejala.
Setelah
operasi, spesimen kista kemudian dibawa ke laboratorium patologi anatomi untuk
dilakukan pemeriksaan histopatologi dan hasil menegaskan sebagai kista
radikuler. Gambaran
histopatologi memperlihatkan kista dibatasi oleh epitel skuamosa bertingkat tanpa
keratinisasi dan pada dinding
kista banyak ditemukan sel-sel radang. pada kasus ini ameloblastoma dan tumor
ganas lainnya dapat disingkirkan dalam diangnosis banding.
Sebagai
kesimpulan bahwa, enukleasi kista jinak pada rahang seperti kista radikuler
dengan bantuan endoskopik dapat digunakan pada kista dengan ukuran besar,
karena lebih unggul dari sisi
pencahayaan pada saat operasi, besarnya lapangan operasi, dan visualisasi, juga
teknik ini sebagai pendekatan alternatif untuk mengeluarkan kista dengan ukuran
besar. Keuntungan yang lain
adalah angka kecacatan (morbidity)
pasca operasi berkurang, dan menghindari kerusakan jaringan yang tidak perlu,
tetapi bisa saja kita kombinasikan dengan teknik lain (marsupialisasi) dengan
mempertimbangkan manfaat lain dari teknik tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Larsen, Peter E. Odontogenesis and
Odontogenic Cysts and Tumours. In: Cumming : Otolaryngology
: Head and Neck, 4 Edition. Philadelphia, USA. Elsevier Mosby Inc ; 2005
2.
Kahairi A, Khan SA, Amirozi A.
Endoscopic-assisted Enucleation of Radicular Cyst –A Case Report. [online] 2010. available from : URL :
http://www.nbci.nml.nih.gov/pubmed/
3. Seno S, Ogawa T, Shibayama M, Ogawa F, Fukui
J, Owaki S, Suzuki M, Shimizu T. Endoscopic Sinus Surgery for the Odontogenic
Maxillary Cysts. [online ] 2009. available
from : URL : http://www.nbci.nml.nih.gov/pubmed/
4.
Wangidjaja HI. Anatomi Gigi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2002. Hal. 29-31
5.
Latoo S, Shah AA, Jan SM, Qadir S, Ahmad I, Purra AR, Malik AH.
Radicular Cyst. [online ] 2009. http://openmed.nic.in
6.
Mhatre NP. Radicular Cyst. [ online]. 2002. Available from : URL :
http:// radicularcyst. tripod.com/.
7. Nair
P.N. Ramachandran. Non-microbial
Etiology : Periapical Cysts Sustain Post-treatment Apical Periodontitis. [online ] 2005. http://
onlinelibrary.wiley.com/doi
8. Wray D, Stenhouse D, Lee D, Clark AJE. Cysts
in Jaw. In : Textbook of General and Oral Surgery. London. Churchill Livingstone 2003. p. 229-39
9. Nair PNR. Review New Perspectives on
Radicular Cysts : do they heal. [online] 1998. . available from : URL : http://www.nbci.nml.nih.gov/pubmed/
10.
Kiss C. Cell-to-cell Interactions. [online ] 2005. http:// onlinelibrary.wiley.com/doi
11.
Gervasio AV, Silva EA, Taketomi JCA, Souza SS, Layola AM. Levels of GM-CSF, IL-3, and IL-6 in Fluid and Tissue
from Human Radicular Cysts . Journal of Dental Research [ online ]
2002. Available from : URL : http://jdr.sagepub.com/
12. Alexandridis C. Surgical Treatment of Radicular Cysts. In : Oral SSurgery . Fragiskos D. Fragiskos (Ed.)
Greece. Springer ; 2007. p. 301- 8
13.
Lalwani AL. Jaw Cyst. In: Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head
and Neck Surgery Second Edition. New York. McGraw & Hill Companies Lange;
2007
14.
Pasler FA. Cysts and Pseudocyts. In: Color Atlas of Dental Medicine Radiology.
USA. Thiema; 2005. P. 301-8
15.
Aggarwae V, Logani A, Naseem Shah
N. The Evaluation of Computed Tomography Scans and Ultrasounds in the
Differential Diagnosis of Periapical Lesions [ online ] 2008. available from :
URL : http://www.nbci.nml.nih.gov/pubmed/
16. Chung W,
Cox DP, Ochs MW. Odontogenic Cysts, Tomours, and Related Jaw Lesion. In : Baley
BJ, Jhonson JT. Head and neck Otolaryngology. Lippincot Williams & Wilkins.
Volume 1. 2006. p. 1570 - 83
terimakasih informasinya sangat membantu :) tapi kenapa gambarnya semua tidak terlihat ya? sayang sekali.
BalasHapus